English English Indonesian Indonesian
oleh

Gelar Haji dalam Tinjauan Sejarah

Oleh: Ahmad Faturrahman, Guru Sejarah MA Syekh Yusuf

Beberapa pekan lalu, tersebar satu video singkat yang dibuat oleh tiga orang ibu-ibu, meski tiga orang yang berbicara namun hanya dua orang yang mengeluarkan pernyataan yang menyangkut ibadah haji. Pernyataan pertama yang dilontarkan menyatakan “Haji sajaji tapi tidak ada emasna”, sedangkan pernyataan yang kedua menyatakan “Pakai songkok haji tapi tidak pernah ke Tanah Suci”.

Pernyataan pertama di atas yang menyangkutkan antara ibadah haji dan emas (kekayaan) jika dilihat dari sejarah maka kategori kekayaan orang yang menunaikan ibadah haji itu dilihat pada tiga hal, menurut catatan perjalanan bangsawan Sumedang, Raden Demang Panji Nagara, yang menunaikan ibadah haji pada tahun 1852 menyatakan bahwa kategori Jemaah haji itu disebut kaya, menengah dan miskin terlihat dari barang bawaan. Kategori kaya terlihat dari Jemaah yang membawa barang bawaan berupa tempat uang dan pakaian, tempat minum dan tempat makanan, sedangkan kategori menengah didasarkan pada adanya tempat pakaian dan tempat minum tanpa tempat makanan, sedangkan miskin pada kategori tidak ada tempat pakaian, makanan dan minum, hanya tempat uang yang diikatkan pada pinggang.

Berbeda halnya dengan pernyataan kedua di atas, penggunaan songkok haji ini termasuk dalam bagian pakaian haji. Dalam sejarah, antara pakaian dan gelar haji tidak dapat dipisahkan, bahwa keduanya mengilhami keluarnya aturan yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda. Jika gelar dan pakaian haji membuat pemerintah kolonial mengeluarkan aturan, apakah kemudian dapat disebut bahwa gelar haji itu merupakan pemberian oleh Belanda?

Tidak diperoleh catatan kapan dan siapa gelar haji itu mulai digunakan namun catatan sejarah menunjukkan bahwa jauh sebelum tahun 1800 atau sebelum aturan terkait haji yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Belanda tahun 1859, gelar haji telah digunakan oleh umat Islam di Nusantara. Penggunaan gelar haji sebelum tahun 1859 terlihat pada dua model penempatan pada nama, model pertama gelar haji ditempatkan di depan nama yang telah menunaikan ibadah haji, seperti yang tercatat dalam Lontara Kesultanan Gowa disebut nama H. Neting dan H. Singaraq, begitu pula dalam sejarah Banten terdapat nama yang menggunakan gelar haji yakni H. Jayasanta, H. Wangsaraja dan H. Fatah, kedua contoh penggunaan gelar haji ini digunakan ketika Kesultanan Gowa dan Banten masih berdaulat penuh atas wilayahnya. Model kedua penggunaan gelar haji terlihat dibelakang nama seperti nama dua orang bangsawan Riau, Raja Ahmad Engku Haji Tua dan anaknya yakni Raja Ali Haji, serta nama dari anak Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten yakni Pangeran Ratu Abunasir Abdulkahar namun setelah menunaikan ibadah haji ia lebih dikenal dengan nama Sultan Haji.

Jika dilihat dari penggunaan gelar haji di atas dan disandingkan dengan pemahaman yang selama ini beredar bahwa gelar haji merupakan gelar yang diberikan oleh pemerintah kolonial Belanda, maka jelas bahwa pemahaman akan pemberian gelar haji oleh pemerintah kolonial Belanda tersebut merupakan satu kesalahan, hal ini terlihat dari penggunaan gelar haji oleh orang-orang yang wilayahnya belum dikuasai oleh Belanda seperti H. Neting dan H. Singaraq di Kesultanan Gowa serta tiga orang utusan dari Kesultanan Banten yang namanya disebutkan di atas. Dari hal ini kita pahami bahwa ternyata gelar haji merupakan pemberian sendiri oleh masyarakat kepada orang yang telah menunaikan ibadah haji.

Pemberian gelar haji kepada orang yang telah menunaikan ibadah haji merupakan satu bentuk penghargaan karena telah berhasilnya menyempurnakan rukun Islam, hal ini dipahami karena pelaksanaan ibadah haji di masa lalu khususnya pada masa penggunaan kapal layar membutuhkan waktu yang sangat lama dan berbahaya, pelaksanaan ibadah haji merupakan suatu perjalanan yang mempertaruhkan antara hidup dan mati, tidak hanya bahaya akan perampok pada saat perjalanan darat dari Jeddah ke Mekkah dan dari Mekah ke Madinah namun bahaya mengancam pula saat pelayaran karena harus melalui ombak yang ganas.

Banyaknya bahaya khususnya penipuan terhadap Jemaah mengakibatkan banyak pula dari mereka yang tidak sampai ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji namun hanya sampai di Singapura, Penang atau lain tempat di Nusantara. Penipuan membuat mereka kehabisan biaya perjalanan sehingga untuk menutupi rasa malu akan gagalnya mereka menunaikan ibadah haji maka banyak dari mereka ketika kembali ke kampung halaman dengan serta merta menggunakan gelar haji.

Penggunaan gelar haji secara sembrono ini yang membuat pemerintah kolonial Belanda tahun 1859 mengeluarkan aturan bahwa Jemaah haji yang telah sampai ke kampung halaman akan mengikuti ujian kelayakan dalam penggunaan gelar dan pakaian haji, namun jika mereka tidak lulus dalam ujian maka gelar dan pakaian haji tidak dapat digunakan meski secara kenyataan mereka betul-betul telah menunaikan haji, aturan terkait ujian ini kemudian dihapuskan tahun 1902.

Apa yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda tersebut dapat disimpulkan bahwa pemberian gelar haji merupakan pemberian oleh masyarakat namun dengan dikeluarkannya aturan tahun 1859 tersebut maka pemerintah kolonial Belanda telah memberikan payung hukum terhadap penggunaan gelar haji meski pemerintah kolonial Belanda mempunyai juga maksud tertentu yakni pengawasan bagi orang yang menyandang gelar haji tersebut. Akhirnya penggunaan gelar haji kembali ke pribadi masing-masing bagi yang telah menunaikan rukun Islam kelima tersebut, apakah ingin menggunakan atau tidak. (*)

News Feed