English English Indonesian Indonesian
oleh

Memikirkan Serikat Dosen dan Aliansi Multisektor

OLEH: Nasrullah Dosen, Mahasiswa Doktoral University of Malaya, Malaysia

Membangun serikat dosen itu sangat penting di era kapitalisme neoliberal pendidikan hari ini. Hanya saja, beraliansi dengan sektor lain juga jauh lebih penting: buruh, guru, petani, nelayan, miskin kota, perempuan, lingkungan, parpol progresif dan sektor – sektor lainnya. 

Berhimpun, berserikat, dan beraliansi untuk memperkuat kekuatan perjuangan. Itulah arti penting serikat dosen. Ditambah memperkuat tekanan serikat dengan bekerjasama dan bergotong – royong dengan sektor – sektor lain. Dosen, yakin saja tidak dapat bergerak sendiri. Pun bisa, kemungkinan tidak akan bertahan lama. Bagaimanapun, nafas perjuangan bukan hal mudah untuk dijaga. Salah satu menjaganya adalah dengan menguatkan simpul dengan barisan perjuangan lainnya. 

Selain acara syukuran wisuda teman angkatan dan jamuan baca doa selamatan di kampung-kampung, nyaris memang there is no free lunch — tak ada makan siang gratis. Termasuk “makan siang” berupa peningkatan upah dan kesejahteraan para dosen. Olehnya, memperjuangkan nasib adalah keniscayaan. Itu adalah wujud “membayar” makan siang yang tak gratis itu. Bagaimanapun, peningkatan upah dan kesejahteraan dosen, burung – burung pun tahu, kalau itu bukanlah acara syukuran wisuda dan jamuan baca doa selamatan di kampung – kampung — yang “makan siang”-nya gratis. 

Dosen berserikat

Kenapa dosen berserikat? Bukankah dosen itu adalah akademisi bukan buruh? 

Itu salah satu pernyataan sekaligus pertanyaan yang penting dan perlu dijawab, alih – alih mencibir penanya sebagai “bias kelas” dan sebagainya. Pernyataan dan pertanyaan itu sesungguhnya adalah cerminan bagaimana dosen itu memposisikan diri dan diposisikan di tengah – tengah masyarakat. Lebih spesifik lagi, memposisikan diri dalam “relasi kerja”. 

Bahwa benarlah dosen itu akademisi dan bekerja “mulia” sebagai pengemban ilmu pengetahuan dan peradaban. Namun, dengan bekerja mulia itu bukan berarti menggugurkan “posisi dosen” sebagai “pekerja” (worker) atau “buruh” (labour). 

Mengapa? Karena dosen itu hidup dari “upah”. Baik diupah oleh negara, maupun diupah oleh perusahaan/yayasan pendidikan swasta. Olehnya itu, dalam “relasi kerja”, dosen bukan pemberi upah atau pemilik modal. Dengan demikian, sah dan tak terelakkanlah, bahwa dosen itu, sesungguhnya adalah “buruh” (labour) atau pekerja (worker). Meskipun, tak terbantahkan juga kerjanya dosen itu (“panjang umurnya, serta) mulia. 

Di samping itu juga, selain mendakukan diri sebagai “buruh” yang penting untuk berserikat untuk memperjuangkan kepentingannya, dosen pun perlu sadar dengan peran “profetik”-nya yang mulia tadi. Olehnya, kehadiran serikat ini juga dalam rangka memperjuangkan “tunjangan profesi” yang “pantas dan layak” sebagai dosen yang bekerja mulia tadi. 

Itulah mengapa dosen itu perlu berserikat dan bertindak progresif memperjuangkan “nasibnya”. Bukankah “Allah tak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri yang berusaha mengubahnya, bukan? Maka jelaslah, dengan berserikat dan bertindak progresif, maka itu adalah “ikhtiar” dalam mengubah nasib “kaum dosen” dan menjalankan “perintah Allah” agar “berusaha” merubah nasib kaumnya. “Takbir, Allahu Akbar”.  

Bersama kita kuat 

Dalam mana – mana perjuangan, ibarat lidi sebatang, tak akan kuat menyapu daun setumpuk. Namun, lidi segenggam yang terikat kuat bernama sapu lidi, akan lebih kuat menyapu setumpuk daun itu. Itulah mengapa berhimpun dalam satu ikatan serikat itu penting. Minimal, untuk menyapu setumpuk sampah, bernama “upah murah” dan “gaji rendah” dosen. 

Perikatan lidi menjadi sapu lidi tadi ibarat persatuan elemen – elemen perjuangan pelbagai sektor: buruh, petani, nelayan, guru, dosen, miskin kota, perempuan, dan banyak lagi elemen – elemen lainnya. Pendeknya, dosen tak boleh “merasa elitis” dan menganggap diri lebih tinggi dari lainnya. Karena, nyatanya, mengeluh juga tanda tak mampu. Tak mampu berjuang sendiri, persisnya. Bagaimanapun, anak Gen Z pun tahu, bahwa “curhat tanda tak mampu”. 

Curhat dosen belakangan ini adalah pertanda bahwa kaum pekerja mulia ini sedang “tak mampu”. Tak mampu hidup di bawah tekanan dengan upah rendah. Tak mampu berjuang sendiri atas nama “kaumnya”. Bahkan, barangkali membangun persatuan perjuangan atas nama kaumnya sendiri, masihlah “tertatih – tatih”. Dari situ, jelaslah, bahwa dosen pun tak mampu jalan sendiri untuk memperjuangkan “nasib kaum”-nya. Maka dari itu, bekerjasama dengan kaum lainnya yang juga tengah berjuang adalah “jalan Tuhan, perintah Allah”. Yaitu, dengan sama – sama memperjuangkan nasib untuk mengubah nasib “kaum – kaum” berupah rendah dan berbeban kerja tinggi itu.

Mau dan Mampukah? 

Di masa kolonial, Hamka dan Mochtar Lubis menyebut kaum ini sebagai “kaum kuli”. Tepatnya, “kuli – kuli perkebunan” Sumatera, persisnya di Deli dan Kerinci, pada masa kolonial. Cerita Kuli Kontrak-nya Mochtar Lubis dan Merantau ke Deli – nya Hamka, apik menceritakan nasib – nasib nestapa kaum kuli ini, lengkap dengan kisah manis pahit perjalanan cinta kaum bawah rendahan ini. 

Membaca cerita – cerita Hamka dan Lubis itu sesungguhnya setali tiga uang dengan muka sedikit dipoles saja dengan menatap nasib dosen – dosen Indonesia di masa yang dibilang “sudah merdeka” hari – hari belakangan ini. Miris berselimut nestapa. 

Sekarang, pertanyaannya: untuk memperjuangkan perubahan nasib kaumnya, mampukah dosen-dosen itu membangun serikat kaumnya? Lalu, maukah bekerjasama dengan kaum lainnya yang sama sama memperjuangkan perubahan nasibnya? 

“Mestinya, iya”. 

News Feed