English English Indonesian Indonesian
oleh

Gallarang Tanginunga Je’ne dari Sisi Sosial dan Politik

Oleh : Muslimin B. Putra, Alumnus Fisipol Unhas/Putra Balang Jeneponto

Momentum Lebaran menjadi pemandangan yang rutin peziarah tumpah ruah di lokasi makam tua yang telah menjadi cagar budaya  di Kabupaten Jeneponto, tepatnya di Kampung Balang Toa. Makam tersebut sangat dikenal karomahnya bagi peziarah dari berbagai penjuru di Butta Turatea, utamanya eks wilayah Kerajaan Binamu tempo dulu yang meliputi Balang, Balumbungan, Bontoramba, Bonto Tangnga,   Embo, Empoang, Jombe, Paitana, dan Tolo. Pada gerbang sebelum memasuki makam tua, terdapat gapura bertuliskan: Gallarang Tanginunga Je’ne.

Sampai sekarang nama pemilik makam tua itu belum banyak terungkap ke publik. Berbagai perkiraan nama asli Gallarang Tanginguna Je’ne di antaranya adalah I Binanga Daeng Masolong anak dari I Tamparang Daeng Mangesa. Sedang I Tamparang Daeng Mangesa anak sulung dari tujuh bersaudara berdasarkan Lontara Bilang Orang Balang. Sedang adik bungsu dari I Tamparang Daeng Mangesa adalah I Manggaukang Daeng Riolo yang kelak menjadi Raja Binamu Pertama memerintah tahun 1607-1631 M karena berhasil menyatukan persekutuan tujuh Kare di Tanah Turatea setelah memenangkan pertempuran dengan Kerajaan Gowa (Sombayya ri Gowa). Ketujuh Kare yang membentuk Kerajaan Binamu  diketuai oleh Kare Layu.

Dilihat dari hubungan kekerabatan antara Binanga Daeng Masolong dengan Gaukang Daeng Riolo (Raja Binamu I) adalah Kemenakan dari sang Raja. Tidak banyak cerita tradisi lisan yang bisa didapatkan dari para orang tua di Kampung Balang Toa tentang riwayat hidup Binanga Daeng Masolong yang bergelar Gallarang Tanginunga Je’ne kecuali sosoknya yang dianggap masyarakat setempat memiliki karomah karena setiap hari Jumat bepergian ke Mekkah menunaikan salat Jumat sambil menenteng di pundaknya kelapa muda sebagai bekal perjalanan spritualnya. Penyematan gelar “Tanginunga Je’ne” kepada Binanga Daeng Masolong karena dirinya tidak mengonsumsi air pada umumnya seorang manusia melainkan hanya air kelapa sepanjang hidupnya untuk menjaga kesucian air yang diminumnya.

Gallarang Balang

Keberadaan makam tua Gallarang Tanginunga Je’ne di Kampung Balang Toa diperkirakan tidak lepas dari peran strategis Gallarang Balang dalam struktur Kerajaan Binamu. Pada masa kekuasaan Kerajaan Binamu, Balang adalah salah satu kerajaan bawahan berbentuk Gallarang, sementara kerajaan bawahan lainnya bernama Karaeng seperti di antaranya Karaeng di Tolo’, Karaeng di Paitana, dan Karaeng di Bontoramba. Hal ini mirip dengan struktur pemerintahan Kerajaan Gowa  terdapat Gallarang Mangasa, Gallarang Tombolo, dan seterusnya.

Gallarang Balang dalam struktur Kerajaan Binamu  ada yang menyebutnya sebagai “Bongga Kananna” atau Perdana Menteri Kerajaan Binamu. Kalau dalam struktur Kerajaan Gowa peran tersebut disebut Tumabbicarabutta, sedangkan dalam struktur Kerajaan di Jawa biasanya disebut Mangkubumi atau Adipati. Peran yang dimiliki Gallarang Balang sebagai “Bongga Kananna” Kerajaan Binamu adalah memberikan pendapat, saran kebijakan pemerintahan dalam setiap sidang/rapat digelar Kerajaan Binamu.

Sebelum terbentuk Gallarang Balang,  Balang berbentuk Kare. Kare pertama di Balang adalah I Tamparang Daeng Mangesa saudara tua dari Gaukang Daeng Riolo atau ayah dari Binanga Daeng Masolong  (Gallarang Tanginunga Je’ne). Ketika Kerajaan Binamu terbentuk mengakhiri keberadaan persekutuan tujuh Kare, Balang sebagai tempat tertua dalam struktur Kerajaan Binamu dipimpin oleh I Tamparang Daeng Mangesa sebagai Gallarang Balang. Dalam menjalankan fungsinya sebagai Gallarang, I Tamparang Daeng Mangesa senantiasa didampingi oleh Tobarani (pemberani/pengawal) dan Panrita (ahli agama Islam).

Asal usul I Tamparang Daeng Mangesa diyakini berasal dari Tomanurunga berdasarkan versi Lontara Orang Balang. Tomanurunga muncul pertama kali dari hutan dataran tinggi yang sekarang bernama Kampung Sapanang. Kemunculan Tomanurunga  di Sapanang mampu mengalahkan Tobarani di daerah tersebut. Kemudian putri dari Kepala Suku setempat jatuh cinta pada Tomanurunga yang masih misterius asal asulnya. Dari hasil perkawinan Tomanurunga dengan putri Kepala Suku lahirlah I Tamparang Daeng Mangesa sebagai anak tertua sedangkan anak termuda adalah I Manggaukang (Gaukang) Daeng Riolo dari tujuh bersaudara. Gaukang Daeng Riolo secara sosiologis hidup sederhana sebagai nelayan, sosoknya memiliki tutur kata yang baik sehingga kelak ditunjuk menjadi Raja Binamu Pertama yang menyatukan persekutuan tujuh Kare di Tanah Turatea/Konfederasi Turatea.

Jika ditelusuri silsilah I Manggaukang Daeng Riolo (Raja I Kerajaan Binamu) adalah keturunan dari Paribba Daeng Nyento’ yang menikahi perempuan di Manyumbeng.  Ketika ditunjuk sebagai Raja I Kerajaan Binamu, Gaukang Daeng Riolo di jemput ke Manyumbeng untuk selanjutnya di bawah ke Layu untuk dilantik sebagai Raja. Mungkinkah sosok Paribba Daeng Nyento adalah perwujudan dari Tumanurunga yang muncul di hutan di Sapanang yang memiliki tujuh anak keturunan, salah satunya Gaukang Daeng Riolo? Tidak ada sumber yang jelas yang menjelaskan tentang itu. Versi lain tentang sosok Paribba Daeng Nyento adalah suami dari I Layu. I Layu adalah anak dari Indra Baji yang menjadi penguasa pertama di Binamu. Indra Baji konon dari tujuh bersaudara yang oleh masyarakat menyebutknya Tomanurunga karena tidak diketahui asal-usul kehadirannya, menurut Lontaraq Patturioloang di Jeneponto.

Kerajaan Binamu

Menurut Ian Caldwell dan Wayne A. Bougas dalam tulisannya “Fajar Sejarah Binamu dan Bangkala” (Terjemahan dari “The Early History of Binamu and Bangkala, South Sulawesi dipublikasikan Bijdragen tot de Taal Land and Volkenkunde, 164(4):456-510 tanpa tahun) keberadaan empat sungai utama yang mengalir dari barat ke timur dalam wilayah Jeneponto pada abad ke-14 membentuk pemukiman pertanian dan membentuk unit-unit pemerintahan kecil (polity) yakni Sungai Topa, Allu, Tamanroya dan Sungai Jeneponto. Pada abad ke-15, unit pemerintahan yang berpusat di Sungai Topa dan Sungai Allu bersatu membentuk Kerajaan Bangkala, dan  unit pemerintahan yang terkonsentrasi di Sungai Tamanroya dan Sungai Jeneponto bergabung menjadi Kerajaan Binamu.

Raja Pertama Kerajaan Binamu adalah I Manggaukang Daeng Riolo. Acara pelantikannya sebagai Raja Pertama berlangsung selama tujuh hari tujuh malam yang dihadiri oleh Raja Gowa, Raja Bone, Raja Luwu, Raja Suppa dan tokoh-tokoh dari tujuh persekutuan ke-kare-an  di Tanah Turatea bersama rakyatnya.  Pelantikan Raja I Kerajaan Binamu di Layu karena menurut Caldwell dan Bougas, Layu memiliki posisi strategis kala itu yakni lokasi pergerakan barang hasil pertanian ke pantai dari hulu dan hilir kedua sungai.

Merujuk pada tulisan Jufri Daeng Nigga berjudul “Kerajaan Binamu, Sejarah Singkat”, setelah pelantikan sebagai Raja Binamu Pertama di Layu ibukota Kerajaan Binamu ketika itu, Gaukang Daeng Riolo membentuk beberapa lembaga untuk mendukung tugas dan fungsi Kerajaan yaitu Lembaga Pertahanan Kerajaan sebagai Panglima Perang yang dipimpin oleh Daenta Bonto Tangnga, Lembaga Pengadaan Pangan (ekonomi/pertanian) yang dipimpin oleh Daenta Balumbungan, Lembaga Kesejahteraan (Sosial) yang dipimpin oleh Gallarang Embo, serta Dewan Penasehat Agama yang diemban Boto Cabiri dan Dewan Hakim yang ditugaskan pada Boto Jombe. Gelar “Daengta” pada beberapa kerajaan bawahan Kerajaan Binamu selevel dengan Gallarang dan Karaeng yang kelak berubah nama gelar dari gelar “Daengta” menjadi “Karaeng” seperti Daengta Bonto Tangnga kemudian berubah menjadi Karaeng Bonto Tangnga  dan Daengta Bontoramba menjadi Karaeng Bontoramba.

Kerajaan Binamu eksis selama  tiga abad sejak tahun 1607 hingga 1946 M setahun Proklamasi Kemerdekaan RI. Selama tiga abad itu, Kerajaan Binamu dipimpin sebanyak 21 Raja dengan gelar “Karaeng Lompoa Ri Binamu”. Raja Binamu ke-21 sebagai raja terakhir Kerajaan Binamu adalah Mattewakkang Daeng Radja yang memerintah tahun 1929 hingga 1946 M. Dari deretan 21 Raja Binamu, nama yang mirip dengan Raja ke-21 namun berbeda nama “Daeng” nya yaitu Mattewakkang Daeng Jungge juga pernah memerintah tahun 1884-1900 M. Dari ke-21 Raja Binamu terdapat satu nama yang tidak memiliki nama “Daeng” yaitu Datu Mutara yang memerintah tahun 1678-1696 M sebagai Raja ke-4. Terdapat dua nama Raja Perempuan dari 21 Raja Kerajaan Binamu yakni Patima Daeng Sakking (memerintah tahun 1852-1869 Raja ke-14) dan  Itia Daeng Ni’ni (memerintah tahun 1869-1884 M/Raja ke-15).

Penguasa muslim pertama dalam Kerajaan Binamu diperkirakan oleh Caldwell & Bougas kemungkinan besar adalah Padewakkang Daeng Rangka yang diperkirakan memerintah dari tahun 1604 hingga 1629. Berbeda dengan susunan raja yang ditulis oleh Jufri Daeng Nigga, nama “Daeng” dari Paddewakkang adalah Daeng Lurang yang memerintah tahun 1747-1763. Sedang penguasa yang memiliki nama Daeng Rangka adalah Jakkolo Daeng Rangka yang memerintah sebelum Paddewakkang Daeng Lurang pada tahun 1731-1747 (Raja ke-7). Seorang peneliti Kerajaan-Kerajaan Nusantara bernama Donald Tick membenarkan susunan ke-21 Raja Binamu dari arsip yang tersimpan di Belanda. Tetapi setelah Raja Binamu terakhir meninggal dunia Mattewakkang Daeng Radja, Donald Tick tidak mengetahui lagi siapa penggantinya sebagai pemangku adat.

Sumber lain menyebutkan terdapat 11 penguasa Kerajaan Binamu termasuk Tumarunga seperti dalam Ibrahim dan Husain (1980:38-9),  sementara sumber dari Rahman (1997:29-30) menyebutkan 20 nama penguasa Kerajaan Binamu, dimulai dari Gaukeng Daeng Riolo hingga berakhir pada Mattewakkang Daeng Raja, penguasa yang ditunjuk oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1929. Sumber lainnya dari Haji Abdurrahim dari Balumbungan menurut Caldwell & Bougas memaparkan 13 generasi penguasa Kerajaan Binamu sejak Gaukang Daeng Riolo hingga Mattewakkang Daeng Raja.

Akhirnya, melihat setting keberadaan Gallarang Tanginunga Je’ne dalam lingkungan Gallarang Balang dan Kerajaan Binamu tempo dulu, dapat disimpulkan dari sisi sosial dan dari sisi politik. Dari sisi sosial, Binanga Daeng Masolong (Gallarang Tanginunga Je’ne) adalah seorang panrita (penasihat agama Islam) yang menduduki posisi sebagai penasihat Kerajaan Binamu sebagaimana kedudukan Gallarang Balang sebagai “Bongga Kananna” Kerajaan Binamu.

Dari seluruh pejabat Gallarang Balang, hanya kuburan Binanga Deng Masolong yang dikeramatkan dan diziarahi masyarakat hingga kini menandakan kedudukannya secara sosial memiliki maqam yang lebih tinggi karena keilmuannya yang mendalam selevel dengan Wali (auliya). Cerita rakyat sebagai sumber tradisi lisan bahwa setiap hari Jumat berangkat salat Jumat ke Mekah dan masih kerab hadir secara ghaib pada beberapa Orang Balang yang memiliki Ilmu Tarekat, menunjukkan karomah sang Wali Gallarang Tanginunga Je’ne dimata masyarakat.

Mengutip Eka Yuliana Rahman dalam Jurnal Pendidikan Sejarah UNJ Vol. 9 No. 1 Tahun 2020 bahwa dalam catatan Christian Pelras, seorang Antropolog kajian kebudayaan Bugis-Makassar menyebutkan  sebelum Kerajaan Gowa-Tallo menjadikan Islam agama kerajaan, penguasa (bangsawan) dan rakyat Konfederasi Turatea telah menganut Islam melalui praktek relasi kekuasaan antara kerajaan, tokoh agama dan rakyat.

Sedang dari sisi politik, Binanga Daeng Masolong sebagai pemegang jabatan “Gallarang” Balang adalah penasihat penting dalam struktur pemerintahan Kerajaan Binamu. Sebagai  organ bawahan Kerajaan Binamu, kedudukan Gallarang Balang memiliki kedudukan yang istimewa karena Balang dianggap sebagai peletak dasar terbentuknya Kerajaan Binamu pasca persekutuan tujuh Kare sebagai Konfederasi Turatea.

Dapat diduga berarti kedudukan pada diri Binanga Daeng Masolong yang bergelar Gallarang Balang menyatu dua kekuasaan penting sebagai penguasa lokal di Gallarang Balang dan juga sebagai panrita (ahli agama Islam) yang menjadi anutan masyarakat sebagai tempat belajar agama Islam kala itu. Wallahu a’lam bissawab (*)

News Feed