Kekerasan langsung terjadi pada rentang waktu ‘kelam’ untuk bissu. Sejarah mencatat segitiga kekerasan menenggelamkan mereka hingga dasar. Tidak ada yang tersisa dari para bissu selain perjuangan untuk bertahan hidup dengan segala trauma selagi melakukan tugas dan tanggung jawabnya pada Dewata SeuwaE. Kekerasan yang nyata terlihat terjadi saat peristiwa DI/TII atau yang dikenal dengan Mappatoba (Operasi Tobat) pada tahun 1960-an.
Saat itu, bissu dianggap melanggar norma agama dan menyembah berhala. Serangan dilakukan oleh kelompok Kahar Muzakkar, dikenal dengan sebutan gurilla, menangkap para bissu dan memaksa mereka untuk hidup menjadi ‘pria tulen.’ Beberapa bissu yang menolak ‘menjadi pria’ dibunuh oleh para gurilla. Tidak berhenti di situ, kekerasan langsung berlanjut hingga masa Orde Baru, para bissu dianggap penganut ‘ateisme’ karena dianggap sebagai pengikut aliran kepercayaan lokal – yang digolongkan sesat. Puncaknya, Arajang yang menjadi tempat sakral bagi masyarakat Bugis dibumihanguskan oleh salah satu ormas karena diafiliasikan dengan Partai Komunis Indonesia (Latief, 2003).
Hampir 60 tahun berlalu sejak kekerasan langsung terjadi, namun bissu masih terjebak dalam segitiga kekerasan. Keadaan terlihat ‘baik-baik’ saja.’ Masyarakat Bugis terlihat belajar dari sejarah Mappatoba – bagaimana ekstrimnya suatu ideologi dapat berbuah kekerasan brutal. Namun ternyata peristiwa mengejutkan terjadi saat perayaan HJB ke-692 – perlu kita refleksikan kembali ‘apakah Bone memang baik-baik saja?’ Saya meminjam istilah Banalitas Kejahatan dari Hannah Arendt (1963).