English English Indonesian Indonesian
oleh

Bissu Bone: Kekerasan Kultural dalam Ritual Budaya

Surat edaran seolah menjadi justifikasi untuk menolak bissu dalam ritual. Anggapan bissu adalah syirik dan sudah lagi tidak ‘suci’ seperti di masa lalu menjadi justifikasi untuk menghilangkan fungsinya dalam ritual. Beberapa pihak percaya, saat ini hanya ada pabissu’, yakni calabai (waria) yang memerankan diri sebagai bissu dalam ritual. Tidak lebih. Internalisasi nilai tersebut menyebabkan pergeseran peran dan posisi, sehingga muncul ‘keberadaan’ aktor-aktor budaya baru yang dianggap sah untuk melakukan pabissu’ dalam prosesi Malekke Toja dan Pra-Mattompang, serta pasukan purna paskibraka untuk membawa benda-benda pusaka pada Mattompang Arajang. Jika stigma, prasangka, dan stereotip ‘bissu musyrik’ diterima oleh masyarakat, kemudian kebijakan hadir untuk meligitimasi – maka tidak menutup kemungkinan kekerasan struktural dan kultural ini dapat mengarah pada brutalnya kekerasan langsung seperti 60 tahun lalu. Pertanyaannya, bagaimana mencegah hal itu dengan membebaskan bissu dari segitiga kekerasan?

Berdasarkan beberapa peneliti Bissu, kekerasan kultural diasosiasikan dengan meningkatnya Islam Puritan di Sulawesi Selatan – memperlihatkan akar konflik yaitu pertentangan agama dan budaya. Fungsi bissu seolah-olah tidak sesuai dengan ajaran agama Islam, padahal sejarah menuliskan adanya integrasi antara agama dan budaya dengan dibentuknya lembaga syara’ yang diketuai oleh kadi atau Petta Kalie – yang menjadi bagian dari struktur kerajaan Bone. Islam Bugis adalah Islam yang mengintegrasikan Sara’ dalam sistem Panngaderreng. Adanya Panngaderreng sebagai sistem adat masyarakat Bone, nilai-nilai religiusitas seorang Bugis tidak hanya diukur dari Sara’ (syariat Islam), tapi juga diukur dari Ade’ (adat)(Ridhwan, 2016).

News Feed