English English Indonesian Indonesian
oleh

Project Budaya Bone Vol III Inisiasi FGD Kebudayaan antara Bissu, Pemerintah Daerah, Ormas, dan Tokoh Agama

FAJAR, BONE– Project Budaya Bone Volume III berhasil melaksanakan kegiatan yang bertemakan FGD Kebudayaan: Menguatkan Moderasi, Mengukuhkan Kebhinekaan untuk Indonesia Maju.

Kegiatan ini masih lanjutan dari rangkaian Project Budaya Bone (PB-Bone) Volume I hingga ke III, dengan menggandeng Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI), Selasa, 5 September 2023

Melalui Subdit Bina Paham Keagamaan Islam dan Penanganan Konflik (BPKI-PK), Direktorat URAIS, DIRJEN BIMAS Islam, berhasil mempertemukan antara komunitas Bissu, para pemangku kebijakan tingkat Kabupaten, pimpinan Organisasi Masyarakat (Ormas) keagamaan dan tokoh agama lintas iman.

Pada sambutannya, Andi Geerhand selaku sekretaris dari Yayasan Pawero Tama Kreatif Kabupaten Bone, sebagai lembaga mitra kolaborasi Subdit BPKI-PK menyampaikan tiga hal yang menjadi titik tekan dalam kegiatan ini.

Pertama, memahami akar penyebab konflik atau ketegangan yang mungkin timbul dalam lingkungan yang beragam.

Kedua, membahas bagaimana keberagaman dapat menjadi sumber kekuatan dan inovasi. Serta ketiga, menjelajahi cara-cara untuk mempromosikan inklusivitas dan sikap moderat di berbagai sektor masyarakat.

Ketiga hal ini yang menjadi gaung dari PB-Bone Volume III guna menjawab permasalahan yang terjadi akhir-akhir ini.

Beberapa pembahasan menjadi sangat sentral dan apik dalam forum, karena banyak membahas mengenai kehadiran negara yang sangat dibutuhkan dalam melihat konteks sosial di lapangan.

Kegiatan ini mengudang H. Dedi Slamet Riyadi M.Ag sebagai Kasubdit Bina Paham Keagamaan Islam dan Penanganan Konflik (BPKI-PK) dengan sangat baik dalam memberikan perspektif Kementerian Agama dalam memahami konflik berdimensi keagamaan.

Baginya, dari beberapa kasus konflik yang pernah beliau dampingi, masih lebih baik mendeteksi konflik secara dini, dibandingkan untuk menyelesaikan konflik yang telah terjadi.

Paradigma ini tentu sejalan dengan pernyataan tentang “Lebih baik mencegah daripada mengobati”. Hadirnya gesekan konflik berdimensi keagamaan juga harusnya dicermati dan didudukkan dengan baik dan melihatnya secara holistik, sebab di beberapa kasus, pendalaman konflik yang telah terjadi biasanya dilandaskan oleh akses dan sumber daya. Sehingga dari titik ini, isu keagamaan justru hanya dilihat sebagai “cangkang” yang terus dipertebal oleh kelompok yang tidak bertanggung jawab. Maka dari itu, identifikasi mendalam harus selalu dilakukan untuk menepis anggapan “cangkang” yang berpotensi menyesatkan.

Sementara Dr. Syamsurijal, M.Si dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menjelaskan jika ruang dialog harus selalu terbuka untuk melihat sebuah perkara lebih jelas. Sehingga bingkai kebhinekaan menjadi pisau analisis untuk membedah permasalahan yang ada.

Dengan mengingat Indonesia adalah negara yang begitu plural dan menampung segala kemajemukan yang ada. Fakta keragamanan di Indonesia, adalah suatu hal yang nyata dan tidak bisa ditolak adanya. Sehingga dalam tafsir kebudayaan dan diselaraskan dengan nilai substansi ajaran Islam sejalan dengan:

Al-muhafadzhoh ‘ala qadim al-shalih wa al-akhdzhu bi al-jadid al-aslah, yang berarti “Melestarikan nilai-nilai lama yang baik dan menerapkan nilai-nilai baru yang lebih baik”.

Di beberapa daerah, budaya lokal yang mengandung keburukan tentu harus ditolak. Apalagi bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar kemanusiaan dan mencederai kemanusiaan. Seperti contohnya tradisi pada Suku Dani di Papua, sebagai bentuk rasa kehilangan anggota keluarga selama-lamanya maka anggota keluarga lainnya diharuskan potong jari.

Tradisi seperti ini bukan sesuatu yang harus dipertahankan, melainkan harus mendapatkan kritik dan filterisasi di masyarakat. Namun ada pula beberapa ritual keagamaan yang ada di Sulawesi Selatan seperti maccera tasi, masappo wanua hingga mappalili, banyak mendapat sentuhan Islam di dalamnya. Sehingga beberapa ritual yang dilakukan masih bisa dirasakan dan dipertahankan sampai sekarang, karena mengandung nilai agama yang luhur.

Beberapa peserta yang hadir juga memberikan respons yang cukup baik terhadap tema yang diangkat dalam kegiatan, yaitu moderasi beragama. Salah satu indikator moderasi beragama adalah mengakomodir budaya lokal untuk tetap hidup dan bertumbuh, sebab di dalamnya ada nilai luhur yang mengandung jutaan makna dalam menjawab tantangan zaman.

Namun pada pelaksanaannya, terkadang juga dijumpai benturan antara agama dan budaya, yang diakibatkan oleh satu tafsir yang berkutat pada hal yang sifatnya simbolik semata, bukan dengan tataran nilai dan norma. Persis seperti yang didengungkan tadi, dengan analogi “cangkang”.

Sementara itu, dalam perjalanannya Islam datang dengan tidak menghilangkan budaya yang ada. Islam berkembang di Nusantara tidak pernah alergi dengan budaya lokal, justru Islam datang dan berdamai dengan budaya juga tradisi lokal yang ada.

Sehingga ada negosiasi antara budaya dan ajaran esensial agama, budaya mana yang seharusnya diakomodir dan budaya mana yang layak ditolak. Nabi juga telah menegaskan melalui ajarannya, selama tidak bertentangan dengan nilai kemanusiaan, maka kebudayaan itu harusnya dijaga, dilindungi dan dilestarikan.

Berbicara tentang moderasi perlu rasanya melakukan dialog secara berkesinambungan dan komprehensif. Sebab melalui dialog akan berpeluang untuk memperkaya perspektif dan mendapatkan informasi secara objektif.

Karena tidak ada satu makhluk-pun yang bisa menyimpulkan suatu hukum atau permasalahan, tanpa memahami dan menganalisa akar permasalahannya di semua sisi. Secara konstitusi hak-hak internum idividu atau kelompok itu dilindungi, namun terbatas pada hak-hak eksternum individu maupun kelompok lainnya.

Sehingga perlu pengaturan mengenai hak berekspersi warga negara, hal ini penting dilakukan agar tidak saling bertentangan dan menjadi alat untuk membatasi hak berekspresi warga negara lainnya. (*)

News Feed