English English Indonesian Indonesian
oleh

Bissu Bone: Kekerasan Kultural dalam Ritual Budaya

Dalam diskusi dengan LAPAR Sulsel (29/03/22), Syamsurijal Ad’han mengonfirmasi bahwa memang saat ini terdapat peningkatan puritanisme yang menginginkan kemurnian agama Islam, sehingga tradisi lokal berusaha disingkirkan. Menurutnya, purifikasi ini sudah lama terjadi dan menekan aktivitas bissu. Posisi calabai dan bissu dilaknat. Beliau menambahkan, kelompok baru yang ekstrem dalam puritanisasi agama semakin masif penyebarannya dan berhasil memengaruhi masyarakat, sehingga masyarakat menjauh dari tradisi dan adat. Menyoal ‘bissu musyrik’, Prof. Nurhayati Rahman menekankan, “Attoriolong (agama Bugis Pra-Islam)merupakan kepercayaan masyarakat Bugis dan Bissu adalah pendeta sucinya. Bissu adalah salah satu perangkat ritual yang menghubungkan antara langit dan bawah laut. Peran bissu tidak boleh dihilangkan dalam ritual. Jika Bissu mau diasosiasikan dengan LGBT, jelas berbeda. Bissu itu identitas kultural, bukan orientasi seksual.”

Tola’ Bala: Perlawanan damai dan inisiatif nirkekerasan

Dalam pelik jeratan kekerasan, Bissu melakukan perlawanan damai dan inisiatif nirkekerasan. Pada Senin sore (28/03/22), komunitas Bissu menyambut para tamu di kediaman Puang Matoa Anchu (28/03/22), persis setelah perayaan HJB ke-692 selesai. Dengan berpakaian serba putih, para bissu memutuskan untuk melaksanakan ritual Tola’ Bala. Ritual dengan tujuan untuk menghindari hal-hal jahat terjadi. Dalam konteks ini, ketika diwawancara, Puang Matoa Anchu menjelaskan dengan suara lirih, “Ritual Tola’ Bala dilakukan sebagai permintaan maaf kami kepada Dewata SeuwaE karena tidak menjalankan tanggung jawab kami, terlepas dari penyebab kami tidak bisa melaksanakan ritual itu. Kami tidak mau ada hal buruk terjadi akibat kami tidak diperbolehkan untuk melakukan ritual Mattompang Arajang.”

News Feed