“Film ini mengajarkan kita agar lebih kritis dalam menggunakan hak pilih. Misal bagaimana track record para paslon dan relasinya dengan pengusaha atau pemodal,” ungkapnya.
Selain itu, Refli juga menegaskan bahwa film sejatinya tidak tendensius pada paslon tertentu. Namun lebih menggambarkan bagaimana kemunduran demokrasi secara substansial maupun prosedural di rezim Presiden Joko Widodo.
“Setelah nonton ini, kita sebagai anak harusnya berani mengatakan bahwa Jokowi telah menjalankan demokrasi palsu,” jelasnya.
Senada dengan itu, Ketua Eksekutif Wilayah LMND Sulawesi Barat, Rijal, mengatakan memang masih banyak masyarakat yang belum mampu mencerna situasi politik saat ini. Oleh karena itu, narasi yang disampaikan tiga pakar HTN dalam “Dirty Vote” adalah data dan informasi yang sangat penting sebagai pembelajaran politik dan hukum tata negara.
“Tingginya jumlah penonton (13 jutaan) dalam tiga hari itu, menunjukan atensi publik terhadap film ini sangat besar. Hampir mayoritas dari komentar itu bersyukur atas tayangnya film ini,” tutupnya. (wir/zuk)