Suatu hari Plato bertanya kepada Socrates yang menjadi gurunya, “Apakah hakikat dari perkawinan?” Socrates tidak langsung menjawab, tetapi memerintahkan si murid untuk masuk ke dalam hutan memilih dan membawa sebuah pohon yang paling indah.
Beberapa jam kemudian, Plato sudah muncul dengan membawa pohon zaitun elok dan segar yang dipersembahkan kepada sang guru. Socrates tidak langsung memberikan jawaban, tetapi balik bertanya, “Apakah ini adalah pohon yang terbaik yang kau temui di hutan?”
Plato dengan diplomatis menjawab, “Pohon inilah yang saya pilih dengan sejumlah alasan, meskipun bukanlah pohon yang terbaik yang saya lihat di dalam hutan.”
Puas dengan apa yang dilakukan muridnya, Socrates langsung menjawab, “Inilah hakikat perkawinan. Manusia harus memutuskan pilihan, meskipun tidak yang terbaik yang ada di hutan, tetapi memberikan batas kepuasan kepada yang memilihnya.”
Begitulah perkawinan, sebuah pengambilan keputusan yang berani, menyatunya dua karakter yang berbeda untuk menerima kekurangan dan kelebihan masing-masing pasangan.
Surah An-Nisaa (4) ayat 1 berbunyi yang artinya: Hai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu satu diri, yaitu Adam, dan menciptakan istrimu, yaitu Hawa. Dan dari keduanya berkembang biak laki-laki dan perempuan. Bertakwalah kepada Allah di mana kalian saling pinta meminta kepada–Nya, serta peliharalah hubungan kasih sayang antara kalian. Sesungguhnya Allah mengawasimu.
Perkawinan adalah awal dari sebuah kehidupan dan merupakan batas kepuasan. Hal ini harus ditanamkan pada semua pasangan agar tidak terjadi perceraian atau kasus-kasus penyelewengan. Ikhtiar setiap pasangan, untuk selalu menanamkan rasa puas, rasa syukur agar selalu menciptakan suasana bahagia dalam sebuah keluarga.