English English Indonesian Indonesian
oleh

Menyoal Gerakan Kaum Muda!

Oleh: Muzakkir Djabir*

Setiap Oktober memori kita diantar untuk menjejakkan kembali, pada sebuah catatan historis yang tidak saja heroik, tetapi juga sangat visioner.

Betapa tidak, anak-anak muda yang tercerahkan itu, meski berasal dari beragam latar belakang suku, bahasa dan agama, berhasil memantik kesadaran kolektif soal begitu pentingnya mempersatukan potensi seluruh anak bangsa. Bersatu merupakan keniscayaan untuk merdeka dari kolonialisme. Kekuataan yang berserak dan tidak terkonsolidasi akan memperlemah daya juang.

Peristiwa Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, melewati jalan panjang dan penuh tantangan. Spirit dan kesadaran nasionalisme yang terinspirasi dari Gerakan Budi Utomo tahun 1908, wujud ekspresi kolektif sebagai bangsa yang mencita-citakan kemerdekaan. Kristalisasi semangat Sumpah Pemuda makin menulari pikiran tokoh-tokoh pemuda, seperti M. Tabrani, Muhammad Yamin, Sumarto, Suwarso, Bahder Johan, Jamaludin, Sarbaini, Sanusi Pane, Paul Pinantoan, Hamami dan Yan Toule Soulehuwiy.

Setelah mereka membaca propaganda dan gagasan pembebasan yang dimuat di majalah “Indonesia Merdeka” besutan para pelajar Indonesia yang tergabung dalam organisasi Perhimpunan Indonesia (PI) di negeri Belanda. Majalah ini secara berkala dikirimkan ke organisasi kepemudaan, antara lain Jong Java, Jong Celebes, Jong Ambon, Jong Batak, dan Sekar Rukun. Edisi perdananya terbit pada Februari 1925, menuliskan tentang tujuan berdirinya gerakan Perhimpunan Indonesia, yakni berikhtiar memperjuangkan kemerdekaan tanah air dan bangsa Indonesia.

Mereka menyadarai, untuk dapat menggerakkan perjuangan kemerdekaan, diperlukan persatuan nasional. Hanya dengan persatuan yang kokoh, bangsa Indonesia mampu menghadapi kaum penjajah. Api kesadaran kaum muda kian menyala, mereka menyelenggarakan Kongres Pemuda Indonesia I pada 30 April‑02 Mei 1926. Setelah melewati debat panjang, kongres melalui Panitia Perumus yang terdiri dari M. Tabrani, Jamaludin, Sanusi Pane dan Muhammad Yamin, menghasilkan “Ikrar Pemuda” yang berbunyi; Pertama, Kami Poetra dan Poetri Indonesia Mengakoe bertoempah darah jang satoe, Tanah Indonesia. Kedua, Kami Poetra dan Poetri Indonesia Mengakoe berbangsa jang satoe, Bangsa Indonesia. Ketiga, Kami Poetra dan Poetri Indonesia Mendjoendjoeng Bahasa Persatoean, Bahasa Melajoe.

Poin ketiga dalam rumusan Ikrar Pemuda ini, menyebabkan perdebatan serius di internal panitia perumus. Muhammad Yamin bersikukuh tetap menggunakan kata Melayu dengan argumentasi bahwa mayoritas penduduk Hindia Belanda berbahasa Melayu. Di samping itu, kongres juga belum menemukan atau menyepakati suatu istilah untuk penyebutan bahasa nasional.

Selang dua tahun kemudian, atas inisiatif Sugondo Joyopuspito selaku pelopor dan pemimpin Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia (PPPI) menghelat Kongres Pemuda Indonesia Ke-2 pada 27-28 Oktober 1928, kongres diikuti perwakilan organisasi kepemudaan yaitu, Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Pemuda Indonesia, Pemuda Kaum Betawi, Jong Sumatranen Bond, Jong Bataks Bond, Jong Islamieten Bond dan PPPI.

Sugondo Joyopuspito yang bertindak sebagai Ketua Panitia, dalam pidatonya menegaskan betapa pentingnya persatuan “Perangilah pengaruh bercerai berai. Dan majulah terus ke arah Indonesia bersatu yang kita cintai”, (Dari Kongres Pemuda Indonesia Pertama Menuju Sumpah Pemuda, 1986). Diskursus kongres berlangsung dinamis, menghadirkan tokoh-tokoh pergerakan, seperti Muhammad Yamin, Nona Purnomowulan, S. Mangunsarkoro, T. Ramelan, dan Sunario.

Kongres menyetujui dan menegaskan kembali rumusan Kongres Pemuda Indonesia Pertama dengan hanya berubah kata “Melajoe” menjadi “Indonesia”. Rumusan ini kemudian dikenal sebagai “Sumpah Pemuda”. 

Ikrar yang menjadi landasan persatuan nasional, fondasi nasionalisme dari kaum pergerakan tumbuh makin kuat dan memantik semangat untuk bergerak bersama merebut dan memperjuangkan kemerdekaan sebagai sebuah bangsa yang berdaulat dan bermartabat. Kesadaran atas kesamaan nasib itulah yang mentrigger terbangunnya konstruksi sosial sebagai sebuah bangsa, bangunan psikologis untuk membayangkan dirinya bagian atau senasib dengan yang lain dalam satu komunitas.

Benedict Anderson menyebutnya dengan istilah “Komunitas Terbayang” (Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism, 1991).

Suara Perubahan!

Sejarah Indonesia modern adalah sejarah pergerakan kaum muda. Etape-etape penting perjalanan bangsa kita, tak pernah absen dari kontribusi aktif pemudanya. Gelombang besar gerakan kaum muda sejak era 1908, 1928, 1945. 1948, 1965, 1978, 1998, menjadi catatan sejarah penting bahwa pemuda-pelajar merupakan pelopor sekaligus penggerak dalam upaya merebut, memperjuangkan, mempertahankan, hingga mengisi kemerdekaan.

Mereka berada di garda terdepan, mengambil tugas sejarah bermodalkan idealisme, gagasan, dan keberanian. Kaum muda adalah suara perubahan, agent of social change, senantiasa bergerak korektif jika melihat ketidakadilan, ketimpangan, penyelewengan dan penindasan. Mereka mewakafkan diri sebagai martir untuk membela kepentingan rakyat dan menjaga muruah bangsa Indonesia. Itulah mengapa Soekarno pernah berucap, “Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda niscaya akan kuguncangkan dunia”.

Lalu, bagaimana realitas gerakan kaum muda pascareformasi? Tampak seperti mengalami disorientasi, gamang dan berserak sehingga kelihatan melemah. Pascalengsernya rezim Orde Baru yang menjadi musuh bersama, mereka keranjingan euforia, gagal menemu-kenali kembali common enemy dan agenda aksinya.

Terlebih dengan tatanan dunia yang mengalami disrupsi akibat pandemi covid-19. Harus diakui, tantangan gerakan kaum muda di era demokratisasi tidaklah lebih mudah dibandingkan menghadapi kekuasaan monolitik. Saat ini, mereka harus berhadapan atau menyahuti beragam isu yang terus bergulir dengan cepat. Di sisi lain, mereka tak cukup resources untuk merespons secara lebih substantif. Bahkan seringkali para tiktoker, selebgram dan youtuber lebih responsif serta memberikan impact signifikan.

Elan vital gerakan kaum muda seperti terbenam, tak kelihatan militansi sebagai kekuatan protes atau korektif atas segala bentuk penyimpangan yang terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Berbagai produk perundang-undangan, seperti Omnibus Law, Revisi UU KPK, dan terakhir putusan MK tak mendapatkan respons yang serius dari gerakan kaum muda, sehingga melenggang dengan mudah.

Kasus-kasus penggusuran rakyat, perampasan tanah masyarakat abai untuk dibela. Gerakan kaum muda harus bangkit, menyuburkan kembali idealisme, militansi, dan aksinya. Mereka semestinya melakukan reorientasi dengan kembali menguatkan agenda reideologisasi, reintelektualisasi, dan aksi kerakyatan serta adaptif dengan perkembangan teknologi. Kaum muda memiliki tugas sejarah mengawal perjalanan bangsanya, berpihak pada kaum marjinal dan meluruskan segala penyimpangan kekuasaan!

Selamat Hari Sumpah Pemuda!

Penulis merupakan Ketua Umum PB HMI (MPO) 2005-2007/
Diaspora Indonesia di Amerika Serikat

News Feed