English English Indonesian Indonesian
oleh

Politisasi Petani dan Saktinya Pancasila

Oleh: Ariady Arsal, Dosen Sekolah Pascasarjana Unhas

Petani oleh Soekarno-Proklamator Indonesia dianggap sebagai PEnyanggah TAtanan Negara Indonesia.

Singkatan yang sarat makna betapa pentingnya peran petani. Jumlahnya yang besar menjadi daya tarik bagi para politisi. Apalagi di era terkini dengan sistem pemilihan terbuka dan suara terbanyak. Bagi daerah-daerah pedalaman, pemilih dari petani memiliki peran yang luar biasa. Tidak heran berbagai agenda terkait petani disikapi beraneka ragam. Politisasi petani yang terkenal dilakukan oleh PKI, ajaran komunis yang bermetamorfosa sebagai partai di era Orde Lama. Dorongan agar ”Barisan Tani” dijadikan sebagai Angkatan kelima di jajaran pengawal Republik ini sangat kencang. Pelatihan-pelatihan mirip militer dikembangkan. Belum lagi berbagai slogan dan agitasi politis yang secara terus menerus dihembuskan. Salah satu agenda komunis dan sosialis yang nyata dilakukan adalah upaya pemiskinan para petani khususnya. Sehingga menjadi logis perannya yang besar dan tingkat kesejahteraan yang rendah menjadi alasan untuk penguatan peran para petani.

Bersyukurlah negara ini terlepas dari Gerakan pemberontakan September 30 yang dilakukan PKI. Pancasila sakti terwujud di 1 Oktober karena kebersamaan rakyat dengan TNI. Khususnya petani yang sudah capek diobok-obok. Upaya politisasi petani sebagaimana yang telah dilakukan akan terus berlangsung. Fakta ini adalah keniscayaan, apalagi tanpa petani tidak akan ada yang bisa memperoleh makanan. Tanpa makanan, jangan harap masa depan akan bisa terwujud. Demikianlah salah satu jargon yang diungkap Guru Besar IPB Bayu Krisnamurti:”No Farmer, no Food, No Future”. Tantangan pengembangan pertanian akan kembali lagi ke petani sebagai “Penyangga Tatanan Negara Indonesia”. Food Estate misalnya yang belum terwujud, tantangan utama setelah pembangunan infrastruktur pertanian dan pembangunan pertaniannya, ambillah pembangunan sawah baru yang diharapkan mencapai ratusan hektar, akan membutuhkan petani setidaknya 5 orang per hektar. Adakah petani yang akan mengelolanya? Dengan jumlah petani yang terbatas dan lahan yang luas di Kalimantan, akan membutuhkan petani baru untuk bekerja disana. Lalu bagaimana dengan biaya hidup petani yang baru ke lokasi tersebut? Sudah adakah mitigasi risk management-nya?

Kami melihat sistem ekonomi Pancasila yang dianut Indonesia sudah sangat baik, bila diterapkan secara paripurna dalam pembangunan pertanian, khususnya kualitas petani sebagai ujung tombak. Wujud kesaktian Pancasila bagi petani dapat dilakukan dengan beberapa hal. Diantaranya:

(1). Peningkatan kualitas manusia petani secara terus menerus dan merata. Saat ini rata-rata lama sekolah petani berdasarkan data BPS baru mencapai 8,69 (BPS, 2022). Artinya secara nasional lama sekolah penduduk baru mencapai 8 tahun 7 bulan kurang. Terendah ada di Papua di Kabupaten Nduga yang notabene petani baru mencapai  1,58 yang berarti hanya mengenyam bangku sekolah dasar sampai di kelas 1. Sangat kontras dengan Kota Pekanbaru yang mencapai RLS 11,93, tertinggi di Indonesia, yang berarti lulus usia Sekolah lanjutan Atas. Asas Keadilan dalam memperoleh pendidikan menjadi mutlak untuk segera dibenahi. Peningkatan kualitas perlu diikuti dengan pendampingan untuk mengakselerasi pemahaman yang rendah dari petani. Agenda -agenda seperti pengiriman mahasiswa dan sarjana membangun desa menjadi salah satu alternatif solusi yang mungkin dilakukan berkolaborasi dengan program Merdeka Belajar yang dilakukan Kementerian Pendidikan.

(2). Inovasi kebijakan pertanian yang berpihak petani. Sudah saatnya pemerintah melakukan terobosan baru dalam pengambilan kebijakan sebagai wujud pelaksanaan Pancasila. Dengan bermusyawarah dan bermufakat, apalagi kondisi pemerintahan yang stabil terkini sangat mungkin dilakukan berbagai terobosan kebijakan yang baru sama sekali. Saat ini kita selalu berkutat dengan fluktuasi harga beras dan issue impor beras dan pelarangan ekspor beras. Padahal keadaan di suatu daerah akan berbeda dengan daerah lain. Kebijakan harga eceran tertinggi beras dan harga pokok pembelian gabah saja yang telah membuat terobosan dengan pembagian wilayah ternyata belum efektif. Pada saat lain, terdapat konsumen yang membutuhkan jenis beras tertentu, beras merah misalnya meskipun dengan harga yang jauh diatas HET. Kebijakan subsidi pupuk yang selama ini dilakukan, juga sudah perlu ditelaah lebih baik lagi. Kami turut menyaksikan berbagai kebijakan yang diambil selalu berulang bahkan banyak yang telah “kadaluarsa” dengan usia kebijakan yang pernah dilakukan sejak awal orde baru sekitar 50 tahun lampau.

(3). Pemberian ruang bersuara bagi petani.Salah satu yang dapat dilakukan adalah dengan mewajibkan semua partai politik mengakomodir profesi petani sebagai calon wakil rakyatnya. Bukan hanya para bokir, konglomerat, pengusaha, milenial, atau politisi. Bila perempuan telah diberi ruang 30 %,maka petani seharusnya memiliki ruang hak yang sama. Bila dalam perhelatan politik tidak dapat dilakukan, maka opsi bersuara lain yang memungkinkan dilakukan adalah dengan mewajibkan agenda uji publik, dengar pendapat dan forum-forum lain diikuti oleh petani perwakilan. Yang juga harus dihindari adalah organisasi-organisasi petani yang akan mewakili petani,  notabene diisi oleh para politisi dan pengusaha yang sama sekali tidak terkait dengan pertanian. Sukses petani Indonesia. (*)

News Feed