English English Indonesian Indonesian
oleh

Aktif di Medsos, Gagap di Kenyataan

(Sebuah Analisis Sosiologi Politik Tontonan)

Oleh: Sopian Tamrin, Dosen Sosiologi Universitas Negeri Makassar

Riuh kontestasi Pemilihan umum ( baca : Pemilu) sudah amat terasa. Baru saja kita kita keluar dari rumah sudah melihat baliho, mungkin juga di ruang tamu kita sudah ada kalender calon legislatif (baca : caleg). Namun apakah Baliho menguntungkan caleg atau ia hanya akan berakhir di tong sampah bersama janji manisnya.

Baliho caleg cerah seperti janjinya, namun buram dalam kenyataannya. Banyak caleg terkenal karena balihonya namun sunyi dalam cerita sepak terjangnya. Akhinya, baliho lebih populer dari perbuatan, bahkan orangnya sendiri. Inilah satu penanda bahwa kita sudah masuk di era Society of the Spectacle, atau era masyarakat tontonan.

Politik tontonan

Penulis tertarik meniliknya dalam terma spectacle ala Guy Debord. Perspektif sosial kritis menyoal bagaimana politik dalam kapitalisme modern sering kali berubah menjadi politik spektakel. Politikus dan partai politik berlomba-lomba menciptakan penampilan publik yang menarik, termasuk mencetak baliho sebanyak-banyak atau menabur gambar di media social. Tentu maksudnya untuk menarik perhatian dan dukungan massa. Namun, kepopuleran tersebut seringkali hanya berdasarkan citra dan penampilan yang dibangun, tanpa adanya keseriusan dalam menghadapi isu-isu nyata dan mengejar perubahan konkret. Inilah politik tontonan.

Politik tontonan adalah politik yang gandrung melebih-lebihkan. Berbuat sedikit tapi publikasi yang banyak. Pada umumnya pelakunya penganut paradigma popular. Mereka sering menceritakan kejadian tidak persis sama dengan kenyataan, membuang bagian buruk dan membesar-besarkan yang baik. Ini sama sekali bertolak belakang dengan prinsip perbuatan baik atau perbuatan ikhlas.

Pada satu waktu, pada layar gawai kita mendapati seorang caleg melaporkan bahwa sosialisasinya dihadiri oleh ratusan warga, dengan sangat antusias. Pendeknya ia berupaya menciptakan kehebohannya sendiri. Dengan sadar, mereka secara sengaja membesar-besarkan kejadiannya. Menampilkan sudut paling ramai lalu kemudian diberi keterangan pemanis. Sepertinya Ini sudah menjadi pakem jurnalisme politik.

Pada politik tontonan keikhlasan memang sudah raib. Terparkir jauh dari prioritas. Adakah caleg ikhlas? Ikhlas sendiri adalah terma yang paling sulit diartikan. Apalagi kalau ikhlasnya para caleg? Saya teringat dengan ungkapan Dr. Haryatmoko, bahwa ihklas adalah ketika kita sudah melupakan perbuatan baik pada orang lain. Misalnya kita pernah memberi bantuan karpet untuk masjid, dan kita disebut ikhlas karena sudah melupakan pemberian itu. Tapi faktanya, dengan sadar dan penuh kesengajaan para caleg justru menegaskan kepada warga bahwa ingat saya. Padahal yang ikhlas adalah mereka yang tidak ingin dikenang.

Guy Debord (1967) seorang pemikir Prancis mencetuskan spectacle theory. Debord menyajikan analisis kritis tentang masyarakat modern yang didominasi oleh fenomena spektakel dan representasi yang mencirikan kapitalisme konsumeristik. Dalam konteks spektakel politik, citra dan penampilan menjadi lebih penting daripada substansi dan prestasi riil. Baliho caleg yang menarik secara visual dapat menciptakan kesan yang kuat di mata publik dan mempengaruhi persepsi mereka terhadap caleg tersebut, terlepas dari kualitas dan kinerja sebenarnya.

Teori spektakel menekankan bahwa politik semakin dipengaruhi oleh upaya untuk memanipulasi emosi dan menciptakan identifikasi massa dengan tokoh-tokoh politik tertentu. Baliho caleg yang menghadirkan citra dan pesan yang menyentuh emosi atau menciptakan simpati dapat menciptakan ikatan emosional dengan pemilih, bahkan jika kinerja caleg itu sendiri tidak begitu kuat.

Senada dengan itu, Sosiolog Prancis, Jeand baudrilard menilai bahwa masyarakat modern memang berada dalam kondisi sosieta spektakuler. Di mana segala sesuatu menjadi pertunjukan dan spektakel. Dalam politik, baliho caleg adalah contoh nyata dari spektakel ini, di mana citra dan penampilan caleg ditonjolkan lebih dari substansi, kualitas, dan kinerja nyata mereka. Baliho menciptakan kesan spektakuler yang menarik perhatian pemilih, terlepas dari apakah itu mencerminkan realitas atau hanya representasi semu.

Dalam spektakel politik, politik seringkali dianggap sebagai bentuk komoditas yang dapat dijual dan dibeli. Caleg berusaha untuk memasarkan diri mereka dengan mengemas diri mereka secara menarik dan menciptakan citra yang menarik bagi konsumen politik, yaitu pemilih. Baliho yang mencerminkan citra caleg yang menarik dapat membantu mereka menjadi populer di mata pemilih, meskipun kadangkala tanpa perjuangan dan prestasi nyata di lapangan.

Baliho dan Hiperealitas

Baudrillard menyatakan bahwa masyarakat modern semakin terperangkap dalam dunia simulasi. di mana realitas dan citra semakin menyatu menjadi satu. Dalam konteks fenomena baliho caleg yang lebih populer, baliho tersebut menciptakan citra dan penampilan yang menarik sebagai representasi dari caleg yang sebenarnya. Pemilih yang melihat baliho tersebut kemudian cenderung menerima dan mempercayai citra itu sebagai realitas dari si caleg tanpa mempertanyakan substansi dan kualitas sebenarnya.

Fenomena ini juga bisa kita sebut sebagai hiperrealitas. Hiperealitas adalah keadaan di mana representasi (gambar, citra) menjadi lebih nyata daripada kenyataan itu sendiri. Dalam konteks baliho caleg, baliho tersebut menciptakan citra yang sangat menggoda dan menarik bagi pemilih. Dengan demikian, baliho menciptakan kesan kelebihan dan melebih-lebihkan karakter caleg sehingga menjadi lebih menarik daripada karakter dan kualitas asli si caleg dalam realitas sehari-hari.

Baudrillard juga menyoroti bagaimana masyarakat modern didorong oleh konsumsi dan tuntutan untuk mendapatkan pengalaman visual yang mengesankan. Dalam hal ini, baliho caleg berfungsi sebagai produk konsumsi politik yang menawarkan pengalaman visual dan citra yang menarik. Masyarakat konsumsi cenderung tergoda oleh citra dan tampilan yang menarik, sehingga baliho caleg dapat menjadi daya tarik bagi pemilih tanpa mempertimbangkan substansi dan prestasi riil.

Terakhir, kita tidak ingin memilih pemimpin yang sibuk lalu-lalang di baliho dan layar sosmed tapi batang hidungnya tidak nampak di mata masyarakat. Karena, batang hidung itu penting untuk mencium aroma penderitaan masyarakat. (*)

News Feed