English English Indonesian Indonesian
oleh

Keterbatasan Ilmu Ekonomi dan Kegagalan Ekonom

Oleh: Muhammad Syarkawi Rauf, Dosen FEB Unhas/ Komisaris Utama PTPN IX

Ancaman resesi global tahun 2023 mengingatkan kembali terhadap tulisan di majalah The Economist yang berbasis di London, Inggris. Tulisannya sangat provokatif berjudul: What Went Wrong With Economics? Tulisan tersebut dimuat pada 16 Juli 2009.

Hal ini diikuti oleh provokasi ratu Inggris yang dimuat di The Guardian, pada 13 Desember 2012, kepada para ekonom di sekolah ekonomi terbaik dunia, London School of Economics (LSE): Queen finally finds out why no one saw the financial crisis coming? Ratu Inggris ingin menyampaikan bahwa para ekonom yang canggih selalu gagal memprediksi krisis.

Sejalan dengan kecendrungan di atas, penghargaan hadiah nobel dalam ilmu ekonomi yang diberikan kepada tiga ekonom, yaitu Robert J. Shiller, Eugene F. Fama, dan Lars Peter Hansen, 10 tahun lalu, juga mengungkapkan hal yang sama, yaitu kegagalan para ekonom dan lebih jauh ilmu ekonomi.

Ketiga peraih hadiah nobel ekonomi tersebut membuat kesimpulan yang sama bahwa teori dan penelitian empiris ekonomi hanya bisa memprediksi dengan baik pergerakan harga asset dalam jangka panjang tetapi tidak dalam jangka pendek.

Perbedaan pandangan para ekonom, khususnya Fama dan Shiller terletak pada asumsi rasionalitas pelaku pasar dan efisiensi pasar. Fama (1970) dikenal melalui Efficient Market Hypothesis (EMH). Sementara Shiller pada awal tahun 1990-an terkenal melalui behavioral economics yang mengaplikasikan ilmu psikologi dalam analisis keuangan.

Gagasan Fama

Gagasan Fama menyatakan bahwa pembentukan harga asset mencerminkan semua informasi yang dibutuhkan oleh pelaku pasar. Sehingga pelaku pasar secara tepat memprediksi pergerakan harga asset dan dengan demikian harga yang terbentuk adalah harga yang sebenarnya.

Fama meyakini bahwa pasar memiliki mekanisme koreksi sendiri, yaitu ketika harga asset rendah maka investor akan membelinya dan menjualnya kembali pada saat harga naik sehingga tidak mungkin terjadi bubble.

Pandangan Fama mendasari deregulasi sektor keuangan di berbagai negara. Wall Street sebutan untuk pusat keuangan terbesar AS mendesain banyak sekali produk derivatif dan melakukan sekuritisasi terhadap berbagai instrumen keuangan. Akibatnya, sektor keuangan berkembang tidak terkendali melampaui perkembangan sektor riil.

Perkembangan pesat sektor keuangan terhenti oleh rentetan krisis dan resesi dalam perekonomian global, dimulai krisis keuangan tahun 2007, resesi tahun 2020 akibat pandemi Covid-19 dan ancaman resesi tahun 2023 sebagai ronde kedua resesi akibat  Covid-19 serta perang Ukraina.

Rentetan krisis dan resesi kemudian melahirkan pertanyaan mengenai kredibilitas ekonom dan ilmu ekonomi itu sendiri. Gagasannya mengenai rasionalitas investor dan efisiensi pasar menyatakan bahwa investor dengan ketersediaan informasi baik (smart investor) akan bertransaksi melawan investor yang tidak memiliki informasi memadai (noisy trader).

Faktanya, investor rasional atau smart investor terbukti ikut memanfaatkan kenaikan harga asset dibanding melawannya. Sehingga investor rasional yang diharapkan mendorong harga ke posisi sesungguhnya ikut larut melakukan spekulasi. Investor rasional juga ikut berkontribusi dalam menciptakan krisis dan resesi.

Gagasan Shiller

Gagasan Shiller mengenai behavioral economics membantah asumsi rasionalitas investor dan efisiensi pasar. Ekonom Shiller pertama kali membunyikan alarm adanya masalah di pasar keuangan yang dikonstruksi dari asumsi rasionalitas investor dan efisiensi pasar.

Kegagalan ekonom dan ilmu ekonomi yang mengusung asumsi rasionalitas investor dan efisiensi pasar dapat ditunjukkan dalam penerapan pendekatan EMH memprediksi nilai tukar. EMH menyatakan bahwa pasar forward efisien jika secara penuh merefleksikan semua informasi yang ada dalam memprediksi nilai tukar spot sehingga tidak memungkinkan bagi investor memperoleh keuntungan tidak normal (Fama, 1970).

Hasil pengujian empiris EMH menggunakan selisih suku bunga dalam negeri dengan suku  bunga AS (dollar AS) untuk memprediksi pergerakan nilai tukar rupiah per dollar AS menunjukkan bahwa EMH tidak dapat diterima (Rauf, 2002). EMH dalam penelitian ini menyatakan bahwa perubahan selisih tingkat bunga domestik dan luar negeri secara keseluruhan tercermin dalam perubahan nilai tukar spot rupiah Indonesia per dollar AS.

Asumasi model EMH jauh dari kenyataan. Hal ini berdampak pada pengambil kebijakan di Indonesia, dimana irasionalitas dan inefisiensi pasar keuangan harus dimonitor oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator dan pengawas. Tujuannya agar transaksi di pasar asset tidak didominasi oleh transaksi spekulatif.

Akhirnya, gagasan Shiller dapat menjadi dasar untuk mengontrol hot money yang digunakan untuk spekulasi yang menyebabkan bubble dan fluktuasi kurs. Menghilangkannya tidak mungkin karena transaksi spekulatif pada taraf tertentu diperlukan untuk mendorong perkembangan pasar asset keuangan nasional. (*)

News Feed