English English Indonesian Indonesian
oleh

Sepak Bola dan Politik

Pernyataan Pak Mahfud MD (Menkopolhukam), bekas Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), bahwa sekiranya pun tidak menjadi menteri, dia juga akan seperti akademisi yang mengeritik Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Cipta Kerja, Menurutnya, intinya ialah: “…, baik undang-undang (UU) maupun perppu sama-sama bertujuan mempermudah pekerja dan investasi”. Selanjutnya dalam wawancara itu, dia menyilakan kedua pihak, yang menolak dan menerima Perppu CK, untuk adu argumentasi, itulah demokrasi, katanya.

Sementara Jimly Ashshiddiqie, juga bekas Ketua MK, mengeritik Perppu tersebut sebagai telah melanggar konstitusi. Dia juga menyatakan Perppu itu membuka peluang presiden diimpeachtment (dijatuhkan).

Saya agak bingung. Dua pakar hukum dan keduanya juga adalah bekas ketua MK, berbeda dalam menilai Perppu CK. Yang satu menilainya bermasalah, yang satu lainnya menilai tidak bermasalah. Dalam kebingungan itu, saya justru yakin, kalau ada kepentingan politik disitu. Maka menurut saya, di sekitar Perppu itu ada pergumulan keras antara pihak yang mau mengimpeachment (menurunkan) Presiden dan pihak yang sebaliknya.

Kalau hanya itu, kita menunggu saja siapa yang menang dalam adu kekuatan politik tersebut, presiden atau lawannya!?

Seperti pertandingan sepak bola, ada yang bertaruh, berapa skor akhir pertandingan. Atau, adu tinju. Apa berakhir dengan KO atau tidak. Seperti itu boleh kita menilai (dan ini tidak melanggar konstitusi atau UUD 1945), apa presiden akan jatuh sebelum pemilu 2024 atau, tidak? Justru tetap kuat hingga tiba ke pemilu 2024?

Tetapi, karena pergumulan atau adu kekuatan politik bukan pertandingan olah raga, seperti sepak bola atau tinju, maka agak sulit dikalkulasi hasilnya secara eksak. Dalilnya ialah “politik itu dinamis… bisa berubah dari detik perdetik…”, kata politisi.

Saya setuju. Cuma saja, gedung DPR itu bukan stadion olahraga, di mana skor pertandingan boleh direken agak eksak. Gedung DPR adalah arena “balapan” politik dan politisi. Akhir “balapan” biasa tak terduga. Bukankah antara Jimly dan Mahfud, keduanya pakar hukum dan bekas ketua MK, berbeda pendapat tentang Perppu CK? Makanya, sejak awal saya nyatakan, saya bingung. Lalu, tidak bingung saya memastikan, ini pergumulan politik yang bermuatan kepentingan politik.

Tentu kekurangankulah yang sering membuatku bingung melihat pertarungan politik pada bangsa kita. Bangsa ini telah membiarkan konstitusi kita terlanggar dengan membiarkan presiden pertama dinyatakan sebagai presiden “seumur hidup”, dan presiden kedua diterima memerintah selama 32 tahun. Jadi, melanggar konstitusi sudah di”tradisi”kan sejak awal. Sanggupkah kita sebagai bangsa melanggar “tradisi” itu? Inilah sesungguhnya perjuangan kita hari ini dan hari-hari selanjutnya: “mendudukkan konstitusi di kursinya!”. Suatu tugas, menurut hemat saya, tidak semudah melesatkan bola ke gawang lawan karena tendangan penalti. Sama dengan bermain sepak bola, bermain politik juga dituntut sportif. (*)

News Feed