English English Indonesian Indonesian
oleh

Muncikari dan Amoral di Kampus

Salah satu hambatan yang mesti dilalui oleh seorang calon guru besar adalah wajib menulis di jurnal berakreditasi ataupun Scopus. Untuk menembus hambatan ini bukan hal yang mudah. Karya tulis harus memenuhi syarat-syarat penulisan yang sangat ketat. Nah, di sinilah muncul peran orang-orang tertentu yang memahami seluk-beluk jurnal.

Ada cerita dari seorang teman yang mencoba mengusulkan dirinya dalam jabatan  guru besar. Salah satu syaratnya adalah wajib ada tulisan di jurnal internasional. Karena semangatnya begitu besar untuk posisi tersebut akhirnya mencoba mengirim karyanya untuk dimuat pada salah satu jurnal internasional. Agar dapat termuat, ia diminta  menyiapkan dana yang cukup lumayan, Rp30-an juta. Akhirnya ia menolak karena biayanya begitu besar. Keinginannya menjadi guru besar terpaksa dimatikan. “Cukup gelar doktor saja,” begitu katanya.

Selain cerita di atas, ada kawan yang mengatakan bahwa untuk pemuatan tulisan di jurnal internasional dapat dinegosiasi. Wah, betul-betul bisnis yang mengiurkan. Seharusnya pihak kampus memiliki kemandirian dalam menilai calon guru besar yang diusulkan.

Syarat-syarat jurnal internasional mestinya bukan menjadi penghambat utama. Tetapi dapat dilihat sejauh mana karya-karya tulis dari seorang calon guru besar itu dapat termuat setidaknya di media nasional untuk beberapa terbitan. Faktanya, ada juga guru besar yang tidak pernah terlihat namanya sebagai penulis di surat kabar nasional ataupun yang terbit di daerah.

Seorang teman yang pernah bergelut di dunia kampus puluhan tahun berkomentar banyak guru besar yang bergelar GBHN (Guru Besar Hanya Nama). Minim karya atau buah pikirannya dibaca masyarakat.

News Feed