Sudah berpuluh tahun, Daeng Manda membuat Kanana. Boneka khas dari Sulsel yang terbuat dari daun lontar.
ASMIATI, Fort Rotterdam
Kanana, boneka tradisional yang terbuat dari daun lontar khas Bugis Makassar. Permainan Kanana ini pun dipamerkan di Benteng Rotterdam pada festival Gau’ Maraja, Selasa, 27 September.
Dalam kompleks Benteng, dua patung berdiri tingginya sekira lima meter. Patung itu memakai baju bodo dan jas tutup. Lengkap dengan aksesorinya. Mirip sepasang penganting yang berdiri menjemput tamu.
Ternyata itu replika Kanana yang dibuat panitia Gau’ Maraja yang ukurannya lebih besar dari “Kanana” –boneka buatan Daeng Manda. Daeng Manda merupakan seorang seniman bernama lengkap Judawi. Ia lahir di Sidrap, 17 Juli 1934. Aktivitas membuat Kanana sejak ia berusia 8 tahun. Usianya kini sudah 88 tahun. Artinya, 80 tahun ia konsisten membuat boneka Kanana ini. Kanana buatan Daeng Manda berukuran kecil. Tingginya medio 20 cm hingga 30 cm.
Bukan hanya membuat boneka, Daeng Manda juga dikenal sebagai Maestro Tari Tradisi Sulawesi Selatan yang diterima pada tahun 2010.
Kepala Balai Pelestarian Nilai Budaya (NPNB) Sulsel, Andi Syamsu Rijal mengatakan, Kanana itu permainan tradisional yang tidak terlalu dikenal oleh masyarakat Bugis-Makassar, padahal para zaman dahulu anak-anak memainkan boneka ini.
“Di pameran Kanana ini ada perajin Kanana yakni Daeng Manda. Dia juga maestro tari dan musik,” ujar Rijal.
Boneka Kanana ini kata Syamsu Rijal, dipakaikan pakaian tradisional Bugis-Makassar, kanana perempuan mengenakan baju bodo dan lipa sabbe serta aksesoris lainnya, sementara boneka kanana laki-laki mengenakan pakaian adat laki-laki seperti jas tutu dan songkok guru.
“Boneka kanana ini dipakaikan pakaian bangsawan, warna pakaiannya juga menandakan warna bangsawan,” ujarnya.
Pameran kanana juga menarik Pamong Budaya Film Musik dan Media Kemendikbudristek, Ismi Sabariyah yang jauh-jauh datang dari Jakarta, untuk melihat pameran Kanana sembari melakukan riset dan observasi boneka dari daun lontar ini.
“Rencananya kami akan buat Film Budaya, misalnya tentang kanana, di pameran ini kami lakukan riset terlebih dahulu, observasi, untuk tahu lebih jelasnya terkait kanana, seperti cara membuatnya, sehingga saat menulis skript film itu sudah bagus gambarannya,” ujar Ismi.
Ia mengungkapkan, melalui film yang dibuat nanti mudah-mudahan Kanana bisa lestari dan ada penerusnya karena ini Maestronya sudah sangat tua.
“Kanana tidak ada di daerah lain, makanya kami tertarik untuk lestarikan ini. Apalagi maestronya sudah tua, siapa tahu ada anak muda yang tertarik lestarikan boneka Kanana ini. Tertarik untuk belajar membuat boneka dari daun lontar ini,” jelasnya. (*/ham)