English English Indonesian Indonesian
oleh

Bissu: Ironi Budaya, Anakronisme Sejarah, dan Kekerasan Terminologi

Tetapi, bissu dan perannya mengalami pergeseran setelah Islam masuk pada sekitar awal abad ke-17. Bahkan, marginalisasi bissu terus berlanjut hingga memasuki periode revolusi kemerdekaan. Setelah kerajaan Bone menyatakan diri bergabung dengan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), peran bissu makin berkurang. Tragisnya, di periode “gerilyawan (DI/TII)” mereka diburu dan dibunuh karena dicap sebagai musyrik, atau melanggar kodrat dengan orientasi gender ganda.

Budaya di ruang hampa

Fakta sejarah, bissu adalah simbol adat. Tetapi, itu cerita di masa era kerajaan, saat mereka memiliki posisi sebagai penasihat kerajaan, pelaksana adat, juga sebagai pemimpin spiritual. Mereka tercitra sebagai orang yang paham dengan bahasa langit, yang dengannya mampu menerjemahkan ke dalam ragam ritual dan doa-doa, yang lebih diwarnai dengan aura mistis.

Sementara, ritual mistis kini dianggap tak lagi relevan dengan zaman digital. Setiap hari, anak-anak kita tak lagi punya banyak waktu untuk berefleksi. Mereka tidur bersama gadget dan esoknya dibangunkan oleh status WA atau bunyi Tiktok. Padahal, dahulu di pagi hari, saat anak-anak buka mata, Ibu selalu berbisik: “nak, padecengi pappanedditta” (nak, tenangkan perasaanmu).

Artinya, selama ini budaya kita lebih sering hanya mengisi ruang-ruang hampa, dan gagal atau salah dipahami, sehingga tak jarang menimbulkan resistensi. 

Di sisi lain, budaya lebih sering dibaca sebagai hanya produk sejarah masa lalu. Padahal, produk sejarah kita masih sangat berbau istana-sentris, tulisan (terutama manuskrip lontara) nyaris tidak ditemukan di luar lingkaran kekuasaan -kerajaan. Kondisi inilah yang menjadi jawaban mengapa  gairah literasi kita hanya berkutat pada tema perang, kekuasaan, dan kebangsawanan.

News Feed