EDWARD AS
Kabupaten Bone
Di satu pagi yang teduh di kampung Bone, Sulsel, M Ridwan menatap tetes-tetes nira yang perlahan jatuh dari pohon aren tua. Aromanya menyapa kenangan.
Ia bukan hanya menghirup bau manis itu, tapi juga menyelami masa lalu ingatan tentang para petani, tentang jerih payah yang kerap tak terdengar, dan tentang warisan yang perlahan dilupakan. Laki-laki yang akrab disapa Wawan itu adalah alumni Antropologi Universitas Hasanuddin.
Di masa mudanya, ia lebih sering bergelut dengan buku dan riset lapangan tentang kebudayaan lokal. Namun takdir membawanya menempuh jalan yang lebih konkret: membangun UMKM dari akar-akar budaya sendiri. Ia mendirikan Dainichi Gula Aren pada tahun 2019, berbekal semangat untuk mengangkat produk lokal menjadi kekuatan nasional bahkan global.
“Dulu saya lihat petani-petani di kampung hanya mengandalkan gula batok. Pasarnya terbatas, harga tidak menentu, padahal mereka sangat bergantung pada itu,” kisah Wawan.
Keresahan itu menjadi pelecut. Ia tak ingin hanya menulis tentang kearifan lokal; ia ingin mengubahnya menjadi strategi bisnis yang hidup, berdampak, dan berkelanjutan.
Dainichi bagi Wawan bukan sekadar nama. Ia adalah representasi dari sebuah misi besar, memodernisasi warisan leluhur tanpa merusaknya. Di tangan Wawan, gula aren tidak lagi hanya berbentuk batok, melainkan tampil dalam rupa gula cair dan bubuk dua bentuk yang praktis untuk gaya hidup urban, namun tetap mengandung cita rasa asli.
“Banyak orang ingin yang praktis, tapi tetap alami. Itu yang kami tawarkan,” kata Wawan.