Tapi terlepas dari makna konotatif yang dihadirkan oleh jatuh, saya lebih bersemangat saat mengingat petuah teman lain, bahwa untuk merasakan pentingnya bangkit kita sesekali perlu jatuh. Tidak ada orang dengan kemampuan memanjat yang hebat tanpa pengalaman jatuh.
Petuah terakhir ini kurang pas bagi saya. Karena di antara teman-teman kecil saya, hanya saya yang tidak bisa memanjat. Faktornya, saat saya mencoba memanjat, saya langsung terjatuh. Masalahnya bukan persoalan jatuhnya, saat saya bangkit ingin memanjat lagi, bersamaan dengan Kalajengking jatuh dan menempel di kerah baju saya. Saat ingin mencoba lagi memanjat di lain waktu, yang terngiang adalah ketakutan pada sengatan Kalajengking.
Tapi percayalah, takdir jatuh itu dihadirkan Tuhan, bukan sekadar pemaknaan bahwa itu karena pengaruh gravitasi. Kita tidak membahas bahwa orang terjatuh karena gaya tarik bumi. Yang kita selami, kita perlu jatuh sesekali sebagai pemicu kebangkitan. Kata motivator, jatuh itu pelajaran untuk menjadi lebih kuat. Kata teman, jatuh itu bisa terasa nikmat, bila jatuh ke pangkuan. Dan kehangatan itu terjadi bila jatuhnya ke pangkuan Ibu. Dan lebih dahsyat lagi jiwa kebangsaan kita, bila jatuhnya ke pangkuan Ibu Pertiwi. (6/)