Dalam perantauannya, Karaeng Caddi menimbah ilmu yang berkaitan dengan ilmu agama, sejarah kerajaan Gowa, adat istiadat, dan perbedaan sistem kerajaan antara Gowa dan Wajo. Karaeng Caddi yang ditemani oleh pengawal setianya Ali dan Rani ditambah dengan Momo dan dua anak buahnya, perampok yang insaf, belajar dan berbaur dengan masyarakat Penaki. Pada sore hari, Karaeng Caddi mendengar alunan kecapi yang merdu di sekitar area pohon asam, rupanya bunyi kecapi tersebut dimainkan oleh Momo.
Terdapat hal yang menarik ketika Momo memetik kecapi, Momo pun melantunkan syair tentang Sawerigading dan epik La Galigo. Dikisahkan pula tentang La Galigo, anak Sawerigading. Seorang pangeran yang gagah dan pemberani. Namun ia dikisahkan sangat bengis, suka berkelahi, nakal, dan suka merebut istri orang dengan kekerasan. La Galigo adalah penggemar sabung ayam. Ia adalah pecundang yang buruk. Ia tak pernah mau menerima kekalahan dalam sabung ayam. Karena hal itu selalu berlanjut sampai ke medan pertempuran. Walaupun demikian, sifat-sifat kepahlawanan La Galigo juga sering muncul. Sehingga, ia tak heran jikalau ia memiliki banyak pengikut. Ia selalu mengadili orang-orang yang mengganggu anak buahnya sehingga tak ada yang berani mengusiknya. Ia sangat memperhatikan kesejahteraan para pengikutnya.
Sama halnya dengan ayahnya, La Galigo juga senang mengembara. Ia membawa putranya bernama La Mappanganro. Karena itu, istrinya, Karaeng Tompo yang ia abaikan, memutuskan untuk mencari suaminya, La Galigo dan putranya. Karaeng Tompo memutuskan untuk berlayar dengan kapal besar dalam armada yang semua awak kapalnya adalah perempuan. Ketika Karaeng Tompo yang menggunakan baju ksatria layaknya lelaki bertemu dengan suaminya, La Galigo dan keduanya bertarung. La Galigo rupanya kalah di tangan istrinya.