Oleh: Fajlurrahman Jurdi*
Pemilu satu atau dua putaran jadi bahan diskursus sengit. Terutama silang pendapat dua pemikir senior Sulsel, Aswar Hasan dan M Qasim Mathar.
Keduanya yang merupakan guru saya, sedang melakoni diskursus intelektual tentang pemilu (tulisan keduanya beberapa kali diulas di Harian FAJAR). Mereka bersikukuh dengan dalil yang sama-sama kuat.
Qasim Mathar mengungkap alasan yang rasional, sebab jika dua putaran, biaya Pemilu tidak sedikit. Ketiga pasangan calon adalah putra terbaik bangsa, sebab itu memiliki potensi dan kualitas yang sama dalam membangun Indonesia masa depan. Siapa pun di antara mereka terpilih.
Sedangkan Aswar Hasan datang dengan dalih yang juga tak kalah kuat. Jika pemilu berjalan dengan baik, jujur, dan adil, Aswar tidak mempersoalkan satu atau dua putaran. Tetapi jika indikasi kejahatan pemilu terlalu kuat seperti saat ini, dan ide satu putaran adalah upaya untuk melegitimasi kejahatan pemilu yang dilakukan salah satu pasangan calon, maka hentikan ide tersebut. Demikian kira-kira basis argumen keduanya.
Tentu saja, cuaca politik belakangan ini kurang bersahabat. Masing-masing pihak mengeklaim punya basis dan kekuatan menurut perhitungan masing-masing. Lembaga survei juga dikerahkan, untuk memotret bagaimana kemungkinan peta suara yang akan terjadi pada 14 Februari 2024.
Fondasi Regulasi
Konstitusi telah meletakkan fondasi tentang probabilitas legitimasi pemilu, apakah hanya satu putaran atau dua putaran. Ketentuan Pasal 6A ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 menegaskan bahwa, “Pasangan calon presiden dan wakil presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi presiden dan wakil presiden”. Ketentuan ini diatur kembali frasa di Pasal 416 ayat (1) UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu.