Oleh: Nurul Ilmi Idrus*
Debat cawapres kedua baru saja berlalu. Gibran—calon wakil presiden nomor urut 2 “menjadi bintang”, sebagaimana judul lagu Haico van der Veken, seorang aktris, model dan penyanyi berkebangsaan Indonesia kelahiran Belgia yang populer sebagai pemeran Cinta di web series berjudul “Samudra Cinta” kurun 2019 dan 2021.
Akan tetapi, bukan Gibran namanya jika tidak tampil mengecewakan, terutama berkaitan dengan etika politiknya dalam debat cawapres. Jika merujuk pada definisinya, maka etika politik adalah praktik pemberian nilai terhadap tindakan politik dengan berlandaskan kepada etika.
Etika sendiri sering dikaitkan dengan moral. Sebagai cabang dari filsafat di dalamnya mencakup filsafat moral atau pembenaran-pembenaran filosofis. Euforia Gibran terkait singkatan-singkatan yang dianggapnya sebagai senjata untuk mengalahkan lawan debatnya, sehingga ia kembali mengulangnya di debat kedua cawapres kali ini.
Gibran tidak menyadari bahwa penonton selalu ingin sesuatu yang lain, bukan debat edisi rewind karena kesannya menjadi membosankan. Di salah satu segmen, Gibran dan Muhaimin saling serang karena Gibran menyindir Muhaimin yang membaca contekan. Ini dibalas oleh Muhaimin dengan sindiran sangat pedas, bahwa pada prinsipnya semua ada etikanya dan debat cawapres bukan tebak-tebakan, bukan level SD, SMP, atau ijazah palsu, tetapi level kebijakan.
Ketika masuk ke topik illegal logging, Gibran memiliki solusi simpel, yakni dengan mencabut IUP-nya (izin usaha pertambangan). Padahal yang namanya illegal loging, sudah pasti tidak memiliki IUP, lalu apanya yang akan dicabut? Tak salah jika Rocky Gerung menanggapinya bahwa jawaban-jawaban Gibran dalam debat tidak konsisten antara satu dengan yang lain karena jawaban Gibran tidak disusun oleh satu kesatuan berpikir.