Oleh: M Qasim Mathar*
Sifat teknologi yang cepat, akurat, dan berjejaring telah menggoda netizen memanfaatkannya. Karena sifat teknologi yang demikian, tampak netizen bersemangat dan berlomba untuk mengirim, men-share, mem-posting, meneruskan bermacam-macam informasi, tanpa memeriksa sejauh mana kebenaran informasi itu.
Pemilu menjadi informasi pokok disampaikan kepada masyarakat. Masyarakat dibuat demam pemilu. Terutama pada masa kampanye sekarang ini. Baliho calon anggota legislatif dan spanduk partai politik terpasang sepanjang mata memandang. Merusak keasrian kota dan desa, tentu saja. Sebab, banyak alat peraga kampanye itu dipasang dengan tidak mematuhi aturan yang telah ditetapkan.
Demam pemilu juga tampak dalam menyambut debat tiga pasang capres dan cawapres. Debat ketiga paslon mengundang tanggapan yang riuh rendah. Saya mengira pengaruh debat itu tidak signifikan untuk mengubah elektabilitas paslon yang sudah diraih.
Sebelum pelaksanaan debat, karena sosialisasi dan kampanye, sebagian besar rakyat sudah menetapkan pilihann kepada ketiga paslon. Hasil survei yang dirilis, yang sudah menunjukkan persentase elektabilitas masing-masing paslon, membuktikan bahwa 80 persen lebih warga sudah menetapkan pilihan.
Rilis survei itu juga menunjukkan bahwa sisa sekitar 10 persen warga yang belum menetapkan pilihan. Debat paslon menurut saya, hanya akan membagi tiga sisa suara warga yang belum menetapkan pilihan itu.
Dampak debat yang amat jelas adalah munculnya tanggapan negatif dan merendahkan penampilan paslon yang bukan pilihannya; dan memuji berlebihan penampilan paslon pilihannya. Mungkin karena itu, ada baiknya di masa depan, debat paslon ditiadakan.
Debat dalam bahasa Bugis disebut “mappangewang”, yang bertujuan mengalahkan lawan debat. Bukan mencari nilai-nilai kebenaran. Kalau pemilu di masa depan masih ada debat, sebaiknya tidak disebut debat, tetapi disebut “percakapan”, misalnya, atau yang lain, yang tidak memberi kesan sebagai “mappangewang”.
Bila ada yang penting lainnya yang bisa disarankan ialah agar pemilu yang akan datang (2029) berlangsung cukup satu putaran saja, tanpa harus meraih suara 50 persen lebih. Suara tertinggi itulah yang menang.
Dengan satu putaran, kita irit dan hemat dalam hal: waktu, tenaga, dan biaya. Dengan satu putaran, kondisi demam pemilu dan iklim “mappangewang” tidak diberi waktu berlama-lama yang berpotensi meretak-retak keutuhan sosial kita.
Dan, harus pula dicatat bahwa pemilu dengan satu putaran, peraih suara terbanyak walau di bawah 50 persen adalah pemenang sejati karena telah mengungguli paslon-paslon lainnya. Jika dua putaran, maka sifat irit dan hemat yang disebut di atas, tidak terjadi. Kondisi demam dan “mappangewang” juga mendapat ruang dan tempo untuk berlangsung lama.
Pemerintah yang baru juga tidak segera bisa bekerja. Dengan dua putaran, bisa lahir pemenang tidak sejati, melainkan pemenang hasil “keroyokan”. Siapa tahu Pemilu pada 14 Februari 2024 melahirkan pemenang sejati, menang dengan meraih suara 50 persen lebih. Itu boleh paslon nomor urut 1, paslon nomor urut 2, atau paslon nomor urut 3. Bagi saya sama saja, sama baiknya! (*/zuk)
*Guru besar UIN Alauddin Makassar, kolumnis FAJAR