”Secara politik ada strategi yang dimainkan oleh Israel. Israel ingin musuh-musuhnya diamankan semua. Kan ,sekarang musuh-musuhnya yang tersisa, saya sebut sebagai poros perlawanan,” jelas alumni Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir tersebut.
Poros perlawanan ini ditujukan olehnya pada pihak-pihak yang jelas melawan Israel seperti Hizbullah di Lebanon, Houthi di Yaman, hingga Hamas di Gaza. Seluruhnya disebutnya berada di bawah komando Iran.
”Ini perang Israel dengan poros perlawanan, Amerika dengan poros perlawanan. Cuma di bagian mana Israel yang turun tangan langsung, di bagian mana Amerika yang turun langsung. Ada bagiannya,” paparnya.
Menguatnya eskalasi ini tak menutup kemungkinan turut disertai risiko korban sipil atau kerusakan yang lebih parah. Kondisi di Gaza dan Ukraina bisa jadi cerminan nyata bahwa paradigma dan praktik perang masih belum bergeser dari abad pertengahan. Perang masih menghancurkan dan membabi buta.
”Dan ternyata, dunia kita hari ini masih dalam praktik dan logika perang yang menghancurkan sana-menghancurkan sini. Kalau pun ada norma-norma yang coba digagas oleh peradaban modern itu hanya dalam kelas, ruang-ruang seminar, dan buku-buku. Itu belum menyasar dalam peradaban modern kita,” keluhnya.
Penyelesaian konflik pun bagi Ketua Pengurus Aliansi Indonesia Damai ini tak cukup hanya dilihat dari satu titik saja. Perlu dilihat hingga ke dalam akar persoalan yang ada. Yakni penjajahan atas Palestina.
Memang, jika ditarik mundur pada 7 Oktober 2023, Hamas yang memulai serangan pada awalnya. Namun, perlu dipahami pula bahwa Hamas tak lahir di ruang hampa. Hamas lahir dalam konteks sosial politik, dalam hal ini penjajahan.