Yang berbeda di antara ketiganya ialah cara mewujudkan Indonesia yang berkeadilan sosial dan makmur (Insan Cita HMI). Jadi, secara ontologis dan aksiologis, ketiga paslon sudah selesai, kecuali epistemologis mereka berbeda; itu termuat dalam program kerja para paslon, kelak sebagai eksekutif.
Sehingga, dalam konteks “ideopolitorstrata”, ketiga paslon sudah selesai pada aspek “ideopolit” (ideologi dan politik). Yang tersisa dan akan dikerjakan ialah “orstrata” (organisasi, strategi, dan taktik). Pengorganisasian, strategi dan taktik, akan jelas dalam kerja kabinet pemerintahannya, kelak.
Sifat independensi HMI dan Insan Cita-nya, mengharuskan saya bersikap menjauhkan keterbelahan, keretakan, apalagi konflik sosial warga bangsa. Juga menjauhkan suburnya wacana tentang keburukan sesama warga bangsa, baik personal maupun komunal, individual maupun komunal. Sebab, bagi saya, Insan Cita merupakan jalan ke perwujudan salah satu pesan Al-Qur’an pada surat Ali Imran ayat 110 yang intinya ialah menjadi “sebaik-baik umat” (“khaera ummah”).
Lalu, kenapa kita memilih kalau ketiga paslon baik semua? Adalah karena, subjektivitas kita saja untuk memilih “yang terbaik”. Silakan. Namun, jika “yang terbaik” sudah terpilih pada pilpres, kesadaran bersama harus mengiringinya, yaitu: sebagai bangsa kita tetap utuh guna mendukung presiden terpilih, siapa pun paslon yang menang.
Kaum terdidik memiliki tanggung jawab untuk senantiasa menuntun pada kondisi kehidupan bangsa yang sehat. Sehat dari belenggu subjektivitas pribadi, untuk dileburkan ke dalam objektivitas bernegara-bangsa. Subjektivitas kita wajib cair melebur ke dalam objektivitas baru, yaitu Indonesia dengan presiden dan pemerintahan baru! (*/zuk)
*Penulis merupakan kolumnis FAJAR, guru besar UIN ALauddin Makassar