Oleh: Aswar Hasan
Berawal dari tidak berefeknya putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) pada proses pemilu yang memutuskan Ketua MK Anwar Usman telah melakukan pelanggaran etik berat, sehingga diberhentikan dari jabatannya selaku Ketua MK karena meloloskan perkara 90 tentang batas usia bagi capres-cawapres. Lewat putusan itu, Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka yang sebelumnya tidak memenuhi syarat usia minimal menurut UU Pemilu, akhirnya bisa melenggang pada Pilpres 2024.
Ketika partai-partai di Koalisi Indonesia Maju mendiskusikan kemungkinan Gibran dipasangkan Prabowo, alasan yang menguat adalah Gibran dimungkinkan secara hukum untuk dipasangkan dengan Prabowo. Ketetapan pasal tentang capres-cawapres yang harus berumur tidak kurang dari 40 tahun sesuai UU Pemilu, telah diubah sebagaimana putusan MK yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman (paman Gibran).
Putusan yang menyebabkan Gibran bisa maju sebagai cawapres, dianggap telah melanggar etik menurut MKMK. Namun, implikasi pelanggaran etik tersebut, sama sekali tak berpengaruh pada pencalonan Gibran hingga pada penetapannya sebagai calon wakil presiden dari Prabowo oleh KPU, atas usungan Koalisi Indonesia Maju. Padahal, Peraturan KPU (PKPU) Nomor 19/2023 tentang Pencalonan Pilpres belum diubah untuk merujuk pada putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Alasannya, karena ketentuan yang lebih tinggi terkait pasal hal usia telah berubah sesuai putusan MK. Jadi, tidak ada kaitan bahwa putusan MK yang melanggar etik itu, dengan legalitas ditetapkannya Gibran sebagai cawapres. Gibran tetap dimuluskan maju dengan mengabaikan aspek pelanggaran etika pada prosesnya. Dengan demikian, legalitas hukum telah menyingkirkan pertimbangan etika.