Berdasarkan aturan hukum tersebut, maka dengan alasan apapun pembabatan mangrove di wilayah pesisir dan pulau-pulau tidak dapat dibenarkan.
Meski demikian, tampak bahwa aturan hukum ini belum diimplementasikan secara maksimal. Bahkan, sekalipun ada Perda Provinsi Sulsel Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengelolaan dan Pengembangan Ekosistem Mangrove Berkelanjutan. Perusakan tetap marak terjadi.
Di Sulsel sendiri ada banyak kasus pembabatan mangrove dilakukan demi perluasan lahan tambak para pengusaha nakal. Itu terjadi secara masif di hampir seluruh wilayah, sayangnya tidak pernah ditindak dengan tegas.
Aparat penegak hukum yaitu Kepolisian, Kementerian Kehutanan, ataupun dinas terkait di tingkat provinsi dan kabupaten/kota diharapkan bisa menegakkan aturan dengan tegas. Jangan biarkan para pelaku perusakan hutan mangrove terus-terusan melakukan aksinya tanpa efek jera.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Sulsel, Andi Hasbi mengatakan, penegakan hukum yang dilakukan pihaknya sejauh ini masih terbatas.
Pasalnya, dirinya mengatakan bahwa lokasi hutan mangrove dibagi menjadi dua. Ada yang di dalam kawasan hutan dan ada yang di luar kawasan hutan.
“Yang berada dalam kawasan hutan menjadi tanggung jawab DLHK bersama MLHK, sedang yang ada di luar kawasan hutan atau Areal Penggunaan Lain (APL) merupakan binaan dan DKP Provinsi dan Kabupaten,” jelasnya.
“Kepulan Tanakeke di Kabupaten Takalar yang dimaksud tidak masuk dalam kawasan hutan. Sehingga, menurut dia, DKP mungkin punya mekanisme tersendiri dalam melakukan konservasi di sana,” tegasnya.