Pada babak kedua dengan setting di LID dan adegan di atas panggung yang menggabarkan secara simbolik pelayaran Daeng Mangalle dan pasukannya ke Negeri Siam.Lantunan musik duka memadukan musik modern dan musik tradisional tunrung paballe serta royong menggambarkan suasana khidmat mengiringi adegan Daeng Mangalle dan pasukannya dalam ritual tari pakarena dan 2 orang bissu (diperankan oleh Andi dan Anca) yang memberikan penyucian (passili) untuk pelepasan Daeng Mangalle dan pasukannya ke Negeri Siam.
Mereka meninggalkan Makassar karena kecewa atas pengesahan Perjanjian Bongaya. Mereka minggat, menolak tunduk pada Belanda. Daeng Mangalle kemudian berlayar ke daratan Siam. Mereka pun berlayar secara simbolik dengan menggunakan property dayung, balira, tombak, dan kipas pakarena sambil melantun syair pelayaran.
Pada babak ketiga dengan setting di LID dan adegan di atas panggung yang menggabarkan Daeng Mangalle dan pasukannya tiba di Negeri Siam dan dijemput dengan tarian Siam. Permintaan suakanya kepada Raja Ayutthaya (diperankan oleh Arga), dikabulkan. Secara simbolik kehidupan awal sang Daeng beserta komunitas Makassarnya berjalan lancar-lancar saja. Namun, semuanya berubah ketika raja Ayutthaya Phra Narai sangat berpihak kepada Prancis. Maka secara simbolik terjadilah pemberontakan yang digambarkan dengan komposisi tombak, badik, parang, tombak dan kipas. Daeng Mangalle menolak tunduk memohon ampunan kepada Sang Raja atas tuduhan dirinya sebagai inisiator rencana kudeta.
Kondisi negeri Siam terancam. Sepertinya akan terjadi kudeta perebutan takhta. Maka Raja Siam perlu mengamankan kekuasaannya dari bangsa mana pun termasuk dari bangsa Daeng Mangalle dan pasukannya. Raja Siam pun menyerukan kepada pasukan aliansi Siam untuk meluluhlantakkan seluruh pasukan Pasukan Daeng Mangalle hingga musnah dari Negeri Siam!