English English Indonesian Indonesian
oleh

Psikolog: Perundungan Cenderung Hasilkan Emosi Negatif

FAJAR, MAKASSAR-Kasus perundungan yang terjadi di MAN 2 Makassar butuh atensi serius. Pembiaran bisa menghasilkan efek traumatis jangka panjang.

“Ini perlu dihentikan, kalau tidak dihentikan, akan berpikir ini layak dirundung, karena dibiarkan, semua orang malah sangat berbahaya ketika menganggap sah-sah saja karena memang tidak mampu,” jelas Psikolog, Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, Trisnawaty.

Trisna melihat masalah perundungan yang terjadi ini di tiga hal. Pertama, berada ada di ranah keluarga. Kedua, di ranah pendidikan, dan ketiga di ranah negara.

Di ranah keluarga, orang tua tidak memiliki pola asuh untuk membentuk anak agar lebih resilien atau tangguh. Alhasil anak cenderung tidak mempertahankan diri ketika dirundung.

“Seharusnya ketika di-Bully, itu bisa melawan, bisa lebih menyampaikan kepada orang yang tepat,” jelas Magister Profesi Psikologi Universitas Tarumanagara, Jakarta ini.

Kemudian banyak kasus di mana orang tua membesarkan anaknya dengan kondisi seluruh hal dimudahkan, maka ini akan membentuk karakter anak lebih mudah patah semangat. Di satu sisi banyak pula karakter para perundung ini terbentuk dalam ranah keluarga, sebab tak mampu dibendung.

“Keluarga harus menciptakan anak-anak yang tidak menciptakan bullying dan punya karakter mencintai saudaranya, apalagi jika berbeda status ekonomi,” tutur Dosen Prodi Pendidikan Dokter FKIK UIN Alauddin tersebut.

Kemudian masuk ke ranah pendidikan, kurikulum belum begitu memadai dalam menyelesaikan masalah perundungan. Sebab masih ada pola pikir perundungan sebagai hal yang biasa. Idealnya sekolah harus mampu membuat sekolah ramah anak, dengan membangun pola pikir adab untuk lebih menghargai dari hal yang paling sederhana. “Seperti kamu mengatakan saja ke temanmu, cie-cie, itu sebenarnya bagian dari perundungan,” jelasnya.

Hal ini kemudian hadir sebagian hal yang diwajarkan. Ini disebut berbahaya karena dapat melatih anak dari hal yang kecil. Kecenderungan ketika korban menampilkan emosi atau bentuk perlawanan dianggap sebagai tak wajar.

“Itu bagian yang dianggap sebagai biasa ji, ih kamu digituin saja kamu sudah merasa ini (marah dsb), ini persoalan adab, dan ini masalah utama. Meski dilakukan, belum tentu teman suka,” ujar Trisnawaty.

Kemudian di ranah negara, juga harus bergerak dalam program nasional untuk bisa menekan perundungan. Itu tersistematis dari pusat hingga ke daerah.

Trisnawaty melanjutkan alasan anak yang memilih untuk tak masuk sekolah adalah hal yang wajar, perundungan cenderung menghasilkan emosi yang negatif. “Ada perasaan marah, merasa tidak berharga, merasa tidak berarti, perasaan negatif ini memang wajar yang muncul ketika dirundung,” jelasnya.

Menurutnya, ketika ini tidak ditangani segera oleh sekolah semacam terapi psikologis atau semacamnya, dalam jangka panjang baru menghasilkan efek traumatis.

Perlu ada pendampingan psikologis minimal tiga bulan lamanya. Jika ini tidak dilakukan akan terjadi kecemasan yang panjang, dan bisa berakhir pada depresi, kehilangan minat dalam bergaul dan adanya ketakutan-katakutan.

“Jadi kemudian anak ini tidak mau sekolah itu wajar, itu kondisi psikologis, pasti akan alami, ketika kita punya satu situasi yang buruk rasanya kita akan merasa untuk menghindari tempat itu,” jelasnya.

Trisnawaty mengatakan ada efek berantai yang juga bisa terjadi pada anak. Dimana anak yang sering di-bully akan memantik teman lainnya untuk ikut membully. “Jadi ini juga bisa hasilkan efek berantai,” tandasnya (an/*)

News Feed