English English Indonesian Indonesian
oleh

Kisah Heroik Pelaut Sulsel “Daeng Parewa” di Jalur Rempah

Ujian Badai Sudah Biasa

Petang menjelang. Pelataran Benteng Rotterdam riuh.

ASMIATI
Makassar

Pengunjung terlihat antusias. Mereka menyaksikan Festival Budaya Gau Maraja, Rabu, 28 September.

Seremoni pembukaan diawali dengan dramatari kolosal. Tarian itu menceritakan tokoh imajinatif Daeng Parewa.Orkestra musik tradisional menggema.

Alunan perkusi, gendang, kecapi, pui-pui, dan suling menyatu. Pertunjukan drama tari dimulai. Kisahnya dimulai dari suasana menanti kedatangan pelaut ulung asal Bugis-Makassar, Daeng Parewa.

Setelah rombongan awak kapal Daeng Parewa berlabuh, kisah dimulai. Dia menceritakan kehidupannya di rantau dalam membuka jalur rempah dan perdagangan.
Bersama awak kapal, Daeng Parewa terus berlayar mengarungi lautan mempertaruhkan jiwa raga. Sesekali singgah di berbagai negeri, berdagang, berdiplomasi, dan bertransaksi. Juga berinteraksi dengan berbagai kultur dan adat.

Dari atas panggung, ditampilkan suka duka yang didapatnya di lautan. Diterjang badai, kapal rusak, peperangan, dan berbagai rintangan. Dari situ, Daeng Parewa pantang menyerah. Keyakinannya, pelaut ulung Bugis-Makassar tidak lahir dari lautan tenang.

“Simbolis yang ditampilkan yakni perjuangan pelayaran lelaki Bugis-Makassar mengarungi lautan dengan prinsip yang dipegang teguh ‘kualleangngi tallangnga na toalia’ (pantang biduk surut ke tepian),” ujar koreografer I, Satriani Hamrin.

Badai di lautan menjadikan Daeng Parewa menjelma sebagai pelaut ulung. Sejatinya, pelaut dari Sulsel memang terkenal. Berani berlayar ke negeri-negeri jauh, dan tidak pulang sebelum sukses.

Di samping kisah Daeng Parewa di lautan berbadai, ada pula kisah keluarga yang ditinggalkan dan menanti.

“Ada istri dan anak yang sabar dan setia menunggu suaminya kembali dari melaut. Para istri mengisi hari-hari penantian mereka dengan pekerjaan rumah, menumbuk padi, memetik hasil kebun, merawat dan membesarkan anak, dan juga memegang teguh janji kesetiaan,” sambung Satriani.

Dalam konteks budaya Bugis-Makassar, kesetiaan bagi seorang wanita diterjemahkan sebagai sabar dan setia. Menanti ikhlas suami kembali dari pelayaran atau perantauan (sompe).

“Drama tari ini ditarikan oleh penari laki-laki 20, pemusik 30, pemain teater 70, penari perempuan 54. Total talenta 174 orang,” ujarnya.

Drama tari kolosal makin indah karena penggunaan properti bambu, kipas, dan selendang yang masing-masing memiliki makna simbolis.

“Bambu simbol abbulo sibatang (persatuan). Kipas merupakan simbol kelembutan seorang wanita Bugis-Makassar. Selendang sebagai simbol dari angin dan gelombang yang meliuk dinamis, kadang lembut dan kadang penuh tenaga, sebagaimana kehidupan manusia yang terus bergerak dinamis,” bebernya.

Koreografer II, Wahyu Lahang mengatakan bahwa basis Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) sebagai penyelenggara adalah tentang jejak orang Bugis-Makassar dalam pelayaran jalur rempah nusantara.

Ini sesuai dengan tema Gau Maraja tahun ini, “Spirit Jalur Rempah Nusantara”, dan itu direpresentasikan dalam drama tari kolosal ini.

Drama tari juga diperindah dengan iringan musik orkestra tradisional. Komposer musik Erwin Sulaiman mengatakan orang-orang ketika mendengar orkestra akan langsung tertuju pada musik dari dunia barat.

Dia prihatin, masyarakat menggandrungi musik luar, sementara Sulawesi sendiri memiliki potensi musik. Sayang, para komposer kurang perhatian dalam menggarap potensi musik lokal ini.

“Kami berinisiatif mengusung musik Gau Maraja menggunakan instrumen khas Sulawesi, yaitu gendang, kecapi, dan suling. Tujuannya adalah agar orkestra ini terus hidup di tempatnya sendiri dan terus hidup, tumbuh dan lestari,” kuncinya.

Drama kolosal “Daeng Parewa” yang disutradarai Alif Anggara ini memikat penonton. Hal itu tak lepas dari musik yang mengiring drama kolosal hingga akhir. Penata Musiknya, Erwin Sulaiman. Seniman musik etnik ini mengatakan, musik yang diusung dengan instrumen musik etnik. “Saya meramu musik gendang, kecapi, suling dengan musik digital. Unsur-unsur ini yang digabungkan,” jelasnya.

Lebih lanjut, Ical sapaan Erwin Sulaiman, pertunjukan itu di awal memang ada unsur digital, tetapi pertengahan hingga akhir pertunjukan dibuat secara live. “Tak ada lagi digital. Dan ini pembuktian orkestrasi gendang kecapi suling ini bisa berhasil,” ungkapnya. (mia-ham/zuk-dir)

News Feed