English English Indonesian Indonesian
oleh

Korupsi dan Keserakahan

Dalam sejumlah literatur yang mengkaji tentang korupsi, umumnya menyimpulkan bahwa keserakahan sebagai prima causa korupsi. Fenomena ini tecermin dengan sangat gamblang pada gaya hidup gubernur Papua: Lukas Enembe, yang sangat berlimpah harta, hedonis namun korup dan gemar berjudi di kasino kelas dunia dengan taruhan lebih dari setengah triliun rupiah.

Ketika dipanggil KPK untuk menjalani pemeriksaan pasca penetapan sebagai tersangka (5/9/22) bagai berguru pada Setya Novanto, Lukas memproteksi diri dengan alasan sakit. Sejumlah centeng bayarannya melakukan provokasi dan mobilisasi martir murahan bersuara sumbang menolak penetapan tuannya sebagai tersangka, dan meminta Presiden agar menjadikan Lukas kebal hukum.

Lebih heboh lagi nyanyian klasik kuasa hakimnya: Stefanus Roy Rening meniru gaya Fredrich Yunadi, membela kliennya dengan membabi buta. Tanpa peduli dengan kode etik advokat, Stefanus memborbardir KPK dengan tuduhan kriminalisasi, bahkan sesumbar menantang KPK untuk membuktikan tuannya bersih dari korupsi. Sikap dan tindakan Stefanus tersebut sudah layak disematkan obstruction of justice dan overacting karena KPK sebagai penyidik tidak tersedia ruang duel pembuktian. Penghentian penyidikan SP3 KPK hanya mungkin jika penyidik menilai kurang bukti, bukan tindak pidana atau demi hukum dan kedaluwarsa.

Pada saat yang hampir bersamaan, KPK juga terpaksa harus menguras adrenalin lantaran memburu dan menetapkan seorang hakim agung: Sudrajat Dimyati (SD) sebagai tersangka (23/9/22). Peristiwa ini tak hanya memalukan dan memilukan muruah MA sebagai benteng tertinggi penegakan hukum dan keadilan, tetapi makin memperlebar ketidakpercayaan publik terhadap MA dan seluruh badan peradilan sebagai lembaga yang sangat korup.

Hal ini tentu sangat paradoks dengan penghasilan yang disediakan negara kepada para hakim agung, hingga lebih dari 10 kali lipat gaji PNS golongan 4A sekalipun. Kenyataan inilah yang menggugurkan tesis bahwa rendahnya penghasilan hakim menjadi pemicu maraknya suap dan bisnis perkara di pengadilan. Berapapun besarnya penghasilan hakim, sama sekali tidak menjamin bersih dari korupsi selama mentalitas dan integritas hakim terdistorsi syahwat keserakahan. Sebab Rasulullah S.A.W pernah bersabda: “Seandainya seorang anak Adam memiliki satu lembah emas, tentu ia menginginkan dua lembah lainnya, dan sama sekai tidak akan memenuhi mulutnya (merasa puas) selain tanah (yaitu setelah mati) dan Allah menerima taubat orang-orang yang bertaubat.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari dan Muslim)

Maraknya praktik korupsi dalam dunia peradilan semakin diperparah oleh lemahnya upaya pengawasan lembaga, baik oleh Badan Pengawas (Bawas) MA maupun KY, kondisi tersebut memungkinkan banyak oknum hakim dan petugas pengadilan yang memperjualbelikan perkara tetapi tidak terdeteksi radar pengawasan. Para mafia korupsi terasa semakin eksis dengan lemahnya komitmen MA sendiri dalam menggasak koruptor.

Alih-alih melakukan perbaikan untuk memaksimalisasi pemberian efek jera, MA justru banyak mengobral diskon pemotongan masa hukuman melalui proses PK. Pada 2021, ada 15 terpidana korupsi yang dikurangi hukumannya melalui PK. Melalui uji materil PP No. 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, MA justru membatalkan regulasi yang secara ketat mengatur syarat pemberian remisi maupun pembebasan bersyarat untuk terpidana kasus korupsi. MA berkontribusi terhadap pembebasan bersyarat 23 napi korupsi beberapa waktu lalu. (*)

News Feed