Akan tetapi, tindakan tersebut memiliki dua sisi yang berbalikan. Pertama, baik untuk penyelasaian perkara karena tidak sampai persidangan. Di sisi lain, hal itu tidak memberikan efek jera.
Aksi pembusuran bisa dijerat dengan Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951. Di mana pelaku membawa sajam (senjata tajam) tanpa izin. “Intinya, mereka (pelaku) yang membahayakan dengan menggunakan sajam jangan dibiarkan. Harus ada tindakan tegas. Apalagi jika tindakan berulang, bisa diberi pasal pemberatan,” tegasnya.
Wadir LBH Makassar, Edy Kurniawan menambahkan, dalam teori kejahatan yang masih berlaku sampai sekarang, selalu berawal dari niat dan kesempatan. Artinya, kalau niat sudah ada, maka kejahatan 50 persen sudah terpenuhi. Tinggal menunggu kesempatan untuk melakukan aksi atau tindakan.
“Modusnya kalau kejahatan yang obyeknya harta benda seperti pencurian, penipuan, jambret, dan lainnya adalah kebutuhan ekonomi sebagai faktor utama. Para pelaku bisa diterapkan Pasal 362 Tentang Pencurian. Lalu Pasal 378 Tentang Penggelapan,” ungkapnya.
Edy menjelaskan, untuk penanganan bisa dalam pendekatan kriminologi melalui upaya preventif atau pencegahan dini. Niat pelaku yang harus lebih awal dicegat. Kemudian upaya perbuatan yang dicegah. Semua upaya bertumpu pada strategi yang harus dilakukan secara cermat dan terukur oleh kepolisian dalam fungsi sebagai pelindung dan pengayom masyarakat.
“Kalau upaya preventif tersebut tidak berhasil, maka polisi sudah harus bertindak sebagai penegak hukum. Dengan melakukan tindakan represif berupa penindakan. Caranya melalui penyelidikan sampai pada tahap penyidikan, dan penetapan tersangka yang didasarkan minimal pada dua alat bukti berdasarkan pasal 184 KUHP,” urainya. (ams-edo/yuk)