Perlawanan damai dan inisiatif nirkekerasan secara umum merujuk pada satyagraha. Ajaran Mahatma Gandhi, artinya ‘pencarian akan kebenaran.’ Satyagraha adalah prinsip religius yang berdasarkan pada ahimsa – penghormatan terhadap semua makhluk hidup. Dalam Al-Qur’an, Allah menciptakan Adam dari lumpur dan menghembuskan kehidupan ke dalamnya, tapi Iblis (setan) menyebutnya “lumpur gelap,” kemudian diusir dari surga. Nafas Allah ada pada setiap makhluk hidup, seharusnya kita melihat semua makhluk hidup sebagai makhluk suci. Hal lainnya yang patut kita renungi adalah pengendalian diri dalam menyikapi kasus ini dengan empati, inklusi, dan konsep radical peace. Untuk itulah diperlukan adanya dialog – untuk kembali mengingatkan bahwa kita memiliki mandat untuk menghadapi ketidakadilan dan kekerasan yang terjadi pada kelompok tertindas demi penghormatan terhadap semua makhluk hidup agar melahirkan harapan tentang kemanusiaan.
Untuk itulah para bissu berpartisipasi dalam dialog publik (31/03/22) dengan harapan mendapatkan titik terang akan konflik ini. “Kami sudah melakukan apa yang kami bisa. Kami tidak pernah menolak untuk hadir. Kami menolak jika kami tidak diperbolehkan mengikuti keseluruhan rangkaian ritual. Ritual itu tidak boleh setengah-setengah. Dari tiga kali pertemuan dengan pemerintah, kami sudah bernegosiasi agar bissu tetap dapat menjalankan perannya dalam Mattompang Arajang. Kami sudah mengiyakan untuk tidak menampilkan sere’ dan maggiri’, walaupun berat hati kami menghilangkan salah satu tahapan dalam prosesi. Bahkan, kami menawarkan opsi apabila pakaian perempuan dianggap tidak pantas, kami akan mengganti baju bodo dengan baju tutup. Kami sudah mengupayakan segala cara agar kami tetap bertanggung jawab pada Dewata SeuwaE untuk melakukan ritual, tapi apa daya kami tetap tidak boleh tampil,” tutur Puang Matoa Anchu.