Sebaliknya, negara dengan jumlah pekerja platform terbesar seperti AS, Tiongkok, India, Jepang, dan Swiss mengusulkan Rekomendasi yang lebih fleksibel dan tidak mengikat secara hukum.
“Meskipun akhirnya disepakati bahwa instrumen akan berupa Konvensi, pembahasan substansi baru mencakup sekitar 15% dan masih jauh dari kata final,” ucapnya.
Hal ini mencerminkan kompleksitas isu ketenagakerjaan digital dan perlunya kehati-hatian dalam merumuskan norma internasional agar tidak menimbulkan dampak negatif pada pertumbuhan ekonomi digital nasional.
Salah satu keputusan penting dalam pertemuan ini adalah definisi pekerja platform yang mencakup spektrum luas: dari pekerja dengan hubungan kerja, mereka yang berusaha sendiri, hingga kategori-kategori lain tergantung sistem ketenagakerjaan nasional.
“Tidak ada pengklasifikasian otomatis bahwa semua pekerja platform harus dianggap sebagai pekerja dalam hubungan kerja,” tuturnya.
Ketua Bidang Ketenagakerjaan APINDO Bob Azam, menekankan pentingnya instrumen global yang tidak hanya melindungi pekerja, tapi juga mendorong penciptaan lapangan kerja dan kemajuan ekonomi digital.
Ia menyebut kondisi global penuh tantangan, seperti tekanan nilai tukar dan kenaikan biaya produksi yang menggerus sektor padat karya di Indonesia.
“APINDO menyatakan dukungan terhadap prinsip-prinsip tersebut,” ucapnya.
Menurut Bob, dengan angka pengangguran mencapai 4,91% dan masih tingginya jumlah pekerja informal, kolaborasi antara pemerintah, dunia usaha, dan pekerja sangat penting.