Dapur umum dikelola oleh relawan Taruna Siaga Bencana (Tagana). Tidak sepeser pun anggaran APBD yang digunakan.
EDWARD AS
Kecamatan Rappocini
Langit senja merangkak pelan di atas halaman kantor Dinas Sosial Sulsel. Cahaya keemasan membias di tenda-tenda besar yang berdiri kokoh, mengayomi puluhan pedagang kecil yang tengah sibuk menata dagangan mereka.
Aroma pelbagai makanan manis beradu dengan semilir angin sore, membawa pertanda bahwa Ramadan telah benar-benar hadir. Di tengah hiruk-pikuk itu, Abdul Malik Faisal berdiri dengan mata yang berbinar. Kepala Dinas Sosial (Dissos) Sulsel ini bukan sekadar penonton, melainkan sosok di balik terselenggaranya bazar yang kini ramai dikunjungi orang.
Ia mengamati para pedagang, melihat mereka menyusun penganan dengan penuh harapan. “Kami ingin memberi mereka panggung,” ucapnya lirih.
Para pedagang ini bukan sembarang orang. Beberapa adalah orang tua dari anak-anak yang tengah menjalani rehabilitasi, beberapa lainnya adalah warga sekitar yang selama ini bertahan hidup dari usaha kecil-kecilan. Ramadan membawa harapan baru, dan bazar ini adalah pintu yang mereka ketuk dengan penuh harapan.
Tenda-tenda ini bukan dibangun dari dana pemerintah. Tidak sepeser pun anggaran APBD yang digunakan. “Ini murni inisiatif. Tenda ini sebenarnya untuk korban bencana dari Kementerian Sosial, tapi kali ini, kami pakai untuk sesuatu yang lebih baik menolong mereka yang butuh penghidupan,” jelas Malik.
Dua puluh empat pedagang sudah siap sejak sebelum bazar resmi dibuka. Beberapa bahkan tak sabar menanti pelanggan pertama mereka. “Rezeki itu datangnya dari Allah. Kalau ada pembeli sebelum waktu jualan, masak saya harus nolak?” seorang ibu separuh baya tertawa kecil, sambil mengisi plastik dengan gorengan hangat.
Namun, bazar ini bukan satu-satunya berkah di halaman Dissos Sulsel. Di sudut lain, di bawah tenda yang sedikit lebih besar, uap panas mengepul dari panci-panci besar. Dapur umum telah beroperasi sejak sore, dikelola oleh relawan Taruna Siaga Bencana (Tagana).
Setiap hari, dari Senin hingga Jumat, mereka menyiapkan ratusan porsi makanan untuk siapa saja yang membutuhkan. “Di masjid ada takjil, di sini kami siapkan makanan lengkap. Nasi, mi goreng, soto, kari, tinggal pilih,” ujar Malik sambil tersenyum lebar.
Tidak ada anggaran pemerintah yang dipakai. Semua ini adalah hasil gotong royong, dari tangan-tangan baik yang ingin berbagi keberkahan Ramadan. Ada yang menyumbang beras, ada yang datang membawa telur, ada yang sekadar menitipkan sekantong mi instan.
Dissos hanya menjadi jembatan, mempertemukan mereka yang ingin memberi dengan mereka yang membutuhkan.
Di sudut dapur, seorang pria tua dengan baju lusuh menyendok suapan terakhirnya, sebelum menghela napas panjang. “Terima kasih, Pak. Ramadan ini jadi lebih ringan.” Suaranya lirih, tapi penuh makna.
Sementara itu, di antara deretan pedagang, seorang ibu muda mengusap keringat di dahinya. Wajahnya lelah, tapi matanya berbinar. “Alhamdulillah, jualan di sini laris. Bisa buat beli baju Lebaran anak-anak,” katanya, penuh syukur.
Malam semakin larut. Satu per satu tenda mulai meredup, tapi tidak dengan harapan yang tumbuh di bawahnya. Ramadan kali ini terasa berbeda, bukan hanya karena hangatnya makanan berbuka, tetapi juga karena senyum-senyum yang kembali merekah di wajah mereka yang mungkin hampir putus asa.
Di bawah tenda besar Dinas Sosial Sulsel, Ramadan menjelma menjadi berkah bukan hanya untuk mereka yang berjualan, tetapi juga bagi mereka yang sekadar datang untuk menikmati sepiring nasi, atau bahkan hanya seulas senyum hangat. (*/)