English English Indonesian Indonesian
oleh

Solong untuk Pengantin

Oleh: Ahmad Naufal

Lampu-lampu kelap-kelip dikampungku. Cahaya api menerangi setiap sudut rumah membakar solong yang semakin lama semakin terbakar habis oleh api. Pintu rumah terbuka, seorang wanita datang membawa plastik yang penuh dengan belanjaan, dia ibuku yang baru datang dari pasar. Belanjaannya diletakkan diatas meja. Adikku mendahuluiku menghampiri meminta permen, kue, dan mainan, ya seperti anak kecil pada umumnya. Ibu mengeluarkan seikat barang dengan bungkus koran bekas yang menutupi isinya, yang sudah bisa kutebak ada apa di dalamnya. Kemudian, ada kapas dan kemiri yang dikeluarkan ibu dari dalam tas belanjaannya. Namun, bungkusan koran tadi diminta adikku, dengan senyum tersungging di bibirnya.

Di bawah remang cahaya api solong [1] yang dinyalakan dari korek api peninggalan ayah, lamat-lamat aku melihat mereka mattunu solong [2]. Aku selalu kembali ke dalam rumah setiap kali solong dinyalakan. Hingar bingar suara adikku dan teman-temannya terdengar begitu jelas di telingaku, yang membuatku teringat kebahagiaan kami setiap awal Ramadan, di mana kampungku penuh dengan kerlipan cahaya pelita yang membentuk panorama cahaya malam yang begitu memukau di setiap sudut kampung, menjadi kesenangan setiap anak-anak di kampungku.

Tetesan air mata ibu mengalir di pipinya, setiap kali melihat solong dinyalakan. Ibu selalu mengingat ayah setiap kali melihat solong, dengan kerinduan yang begitu besar. Solong memiliki cahaya yang indah, dan ayah punya cara unik dalam menyulap api menjadi pelita-pelita yang indah dengan kecintaan yang mendalam pada api. Bagi ayah, solong bukan sekadar penerangan, tetapi juga menciptakan keajaiban kecil yang membuat malam Ramadan selalu meriah. Yang menjadi istimewa adalah solong buatan ayah dan ibu, yang dibuat mereka berdua. Senyum selalu terpancar dari wajah ayah, setiap kali Solong itu dibakar dengan korek api kesayangannya.

News Feed