Oleh : Hasrullah
Dalam empat tahun terakhir pemerintahan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin, sorotan terbesar menuju pada aspek demokrasi. Salah satu penyebab kemunduran terbesar demokrasi Indonesia adalah kepemimpinan Presiden Joko “Jokowi” Widodo. Di antaranya adalah keputusan Jokowi untuk mendukung pengesahan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) walau ditentang banyak pihak dan yang terakhir puncaknya setelah munculnya putusan Mahkamahh Konstitusi (MK) yang memuluskan Gibran menjadi cawapres.
Regresi demokrasi paling nyata selama periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi tentu paling mudah diukur dari berbagai bentuk represi yang diterima oleh masyarakat ketika menyampaikan pendapat di muka umum. Fenomena penyempitan ruang kebebasan sipil (shrinking civic space) pun terus berlangsung.
Adapun bentuk-bentuk tindakan represif yang paling sering ditemukan tentu saja pembubaran paksa terhadap kebebasan berkumpul dan penangkapan sewenang-wenang terhadap demonstran. Watak opresif dan antikritik negara tecermin begitu kental dalam tindakan brutalitas kepolisian (police brutality) yang dilakukan di lapangan. Tak jarang berbagai tindakan tersebut pun menimbulkan korban jiwa baik luka-luka hingga hilangnya nyawa.
Parahnya, para elite politik, baik yang mendukung pemerintah maupun tidak, terlihat semakin kompak dalam melemahkan demokrasi. Pada seluruh RUU dan UU yang kontroversial, peta dukungan politik menyebar ke fraksi oposisi yang dimotori oleh lawan politik Jokowi, Prabowo Subianto. Ini terlihat dari tidak adanya penolakan dari kubu oposisi terhadap RUU dan UU kontroversial yang dibahas di DPR dan seluruh fraksi partai setuju.