Dalam perspektif sosiologis, agama bukan hanya dipandang sebagai suatu hal yang bersifat doktrinal-ideologis dan bersifat abstrak, tetapi ia muncul dalam bentuk realitas material, yaitu dalam kehidupan sehari-hari. Identitas-identitas keagamaan bahkan biasanya lebih mudah ketika dimaterialisasi melalui cara berpikir, cara bertindak dan berperilaku.
Dengan demikian, agama dalam konteks ini adalah realitas perilaku beragama yang konkrit dan bukan hanya sebagai doktrin keagamaan semata dalam realitas hidup sosial sehari-hari. Agama yang diyakini, merupakan sumber motivasi tindakan individu dalam hubungan sosialnya, dan kembali pada konsep hubungan agama dengan masyarakat, di mana pengalaman keagamaan akan direfleksikan pada tindakan sosial dan individu dengan masyarakat secara normatif dan tidak bersifat antagonis.
Namun dalam realitas kehidupan sosial di muka bumi ini, sistem sosial akan memberikan pengaruh signifikan pada cara merespons nilai-nilai agama dalam budaya. Semakin jauh dari pusat-pusat keramaian ataupun perkotaan, maka pola pikir masyarakat akan senantiasa mengedepankan perilaku kebudayaan dalam memahami pola kehidupan beragama.
Fenomena itu hampir terjadi pada semua wilayah Indonesia yang salah satu faktor adalah kuatnya pengaruh Hinduisme dan animisme pada masa lalu. Doktrin sosial keagamaan dalam sebuah keluarga menjadi pegangan bagi generasi selanjutnya dalam kultur sebuah keluarga, karena blueprint tersebut sudah menjadi tuntunan dan bukan hanya menjadi tontonan bagi generasi selanjutnya. Realitas seperti ini juga berlaku secara adat pada etnis Tana Toraja yang sangat menghargai budaya leluhurnya sehingga nilai agama yang dipahami diakulturasikan dengan perilaku berbudaya sebagai bentuk syukur dan penghormatan pada leluhurnya.