English English Indonesian Indonesian
oleh

Mengenang Daeng Aco, Pasinrilik Bersahaja dari Nipa-nipa

Pasinrilik yang lahir di tahun 1942 bertepatan dengan era pendudukan Jepang ini mewarisi bakat bersinrilik dari sang ayah. Sejak kecil ia hampir tak pernah melewatkan kesempatan untuk menyertai sang ayah bersinrilik keliling kampung. Ia sebenarnya tak menyadari bahwa di masa mendatang ia akan mengikuti jejak sang ayah. Hal yang paling ia ingat adalah setiap kali ayahnya mulai melantunkan sinrilik, dalam rentang sepuluh sampai lima belas menit ia akan tertidur di pangkuan ayahnya sampai pertunjukan sinrilikselesai.

Keesokan harinya ia akan mengingat beberapa bagian dari kisah yang dibawakan. Perlahan-perlahan beliau mulai menghafalkannya. Sekadar informasi, pasinrilik pada masa menghafal kisah yang dituturkan tersebut di luar kepala. Sinrilik yang dipentaskan semalam suntuk tersebut akan mengalir begitu rupa tanpa teks sama sekali. Daeng Aco termasuk dalam kategori pasinrilik seperti ini.

Hidupnya terus bergulir dan pada saat ayahnya meninggal dunia belum ada petunjuk apakah ia juga akan melanjutkan kebiasaan bersinirlik atau tidak. Sang ayah menurut penuturannya tak pernah sekali pun menyampaikan harapan agar ia melanjutkan kesenian tersebut. Dalam kurun waktu tersebut bahkan ia tak berpikir tentang sinrilik sama sekali. Ilham perihal sinrilik mulai datang ketika ia berusia menjelang empat puluh tahun.

Ia menyampaikan bahwa suatu ketika dalam mimpinya ia didatangi sang ayah yang bercerita tentang sinrilikdan berpesan, “Teakoputtaianne jamang-jamanga”. Secara harfiah berarti jangan biarkan pekerjaan ini punah. Dari sinilah ia mulai mencari kembali kesok-kesok peninggalan ayahnya dan mulai berlatih. Ajaibnya, tak memerlukan waktu lama untuk kemudian mahir memainkannya. Pada saat ia menggesek kesok-kesok tersebut ingatan tentang kisah sinrlik Datu Musengna Maipa Deapati, I Manakkuk Caddi-caddi, dan I Maddi Daeng ri Makka mulai berkelindan di kepalanya dan mengalir dengan pasti lewat tuturannya. Kisah-kisah yang akrab di telinganya dan dibawakan oleh mendiang ayahnya kini bisa ia tuturkan kembali. Sinrilik seperti datang kepadanya sebagai warisan biologis. Ia menyebutnya sebagai passare, pemberian, atau panngellai, izin dari yang Maha Kuasa. Akan menarik untuk menyaksikan kelak apakah sepeninggalnya akan ada salah seorang dari anaknya yang mendapat ilham serupa. (*)

News Feed