Oleh: Prof. Dr. Andi Ima Kesuma, M.Pd*
Perlawanan rakyat Luwu, meskipun bersifat lokal, memiliki dampak nasional.
Sebelum perlawanan rakyat Luwu pada 23 Januari 1946, yang merupakan bagian dari revolusi fisik di seluruh Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan yang dideklarasikan pada 1945, terdapat catatan bahwa rakyat Luwu, di bawah komando para bangsawan aktif, telah memberontak melawan hegemoni Belanda atau pemerintahan kolonial.
Sejarah mencatat 1905 sebagai awal penjajahan Belanda di Luwu setelah berhasil menaklukkan kerajaan Bone. Saat itu, pemerintahan di Luwu dipegang Andi Kambo. Langkah awal yang diambil melibatkan sensus penduduk, wajib memakai surat kampung (kartu penduduk) bagi mereka yang memasuki usia balig, penerapan pajak kepala, dan kemudian penerapan pajak pencaharian (Tory, 1996: 34).
Perlawanan rakyat ini sudah terjadi sejak awal kedatangan Kolonial itu sendiri, termasuk yang dilakukan para pembesar Luwu. Perlawanan Andi Tadda, misalnya. Berlangsung tidak lama, pada 12 September 1905 ia gugur dalam perjuangan melawan Belanda.
Pasca kematian Tadda, Belanda mengancam apabila Kambo tidak menyerah dan menandatangani perjanjian pendek, maka Belanda akan melakukan penghancuran terhadap Kerajaan Luwu. Kambo akhirnya menandatangani Korte Verklaring atau perjanjian pendek (Sapitri, Ridha, & Ahmadin, 2015: 12).
Perlawanan rakyat ini dalam waktu yang lama tidaklah berhenti. Salah satu perlawanan rakyat Luwu, yaitu perang perlawanan rakyat Dusun Topoka, Kecamatan Suli, Luwu atau yang disebut perlawanan Topoka 1914 adalah sekelumit peristiwa sejarah yang terjadi di Kerajaan Luwu dahulu.