Oleh : Ilmanbahri Widyananda Mansyur
(Pemerhati Pemilu).
Sekitar 40 hari ke depan puncak hari kontestasi demokrasi bangsa ini dihelat, sudah terdapat beberapa rangkaian kegiatan yang diselenggarakan oleh Penyelenggara Pemilu dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum, hingga pada tahapan ini kita menyaksikan proses adu gagasan dari para calon pemimpin bangsa ini.
Tahapan yang kita saksikan hari ini merupakan rangkaian tahapan kampanye Pemilu yang memang diberikan ruang oleh peraturan perundang-undangan sebagai wadah legal untuk menyampaikan visi, misi, program dan/atau citra diri dari para Peserta Pemilu dalam hal ini Partai Politik Peserta Pemilu Tahun 2024.
Kampanye Pemilu merupakan bagian dari Pendidikan Politik masyarakat dan dilaksanakan secara bertanggung jawab (Dapat dilihat dalam Pasal 267 ayat (1) UU 7/2017). Hal tersebut juga menjadi rangkaian pelaksanaan salah satu fungsi dari Partai Politik yakni sebagai sarana pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pendidikan dalam tinjauan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI online), berasal dari kata dasar βdidikβ yang berarti memelihara dan memberi latihan (ajaran, tuntunan, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik.
Jika meninjau definisi pendidikan politik itu diterjemahkan sebagai proses pembelajaran dan pemahaman tentang hak, kewajiban dan tanggung jawab setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga output dari proses Pendidikan politik yakni meningkatkan kesadaran hak dan kewajiban masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; menigkatkan partisipasi politik dan inisiatif masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; serta meningkatkan kemandirian, kedewasaan dan membangun karakter bangsa dalam rangka memelihara persatuan dan kesatuan bangsa (dapat dilihat dalam Pasal 31 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2008).
Begitu pun dalam proses kampanye Pemilu yang harusnya membangun kesadaran kolektif warga negara terkait dengan peningkatan kualitas demokratisasi bangsa ini karena memang kampanye Pemilu merupakan bagian dari pendidikan politik sebagai pelaksanaan peran dari partai politik, sebagai infrastruktur politik sehingga pelaksanaan demokratisasi bangsa ini berkualitas.
Kampanye Pemilu adalah ruang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk dilaksanakan oleh partai politik dengan muatan visi, misi, program dan/atau citra diri melalui pelaksana kampanyenye. Kemudian didesain dengan beberapa metode, yakni Metode pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka, penyebaran bahan kampanye Pemilu kepada umum, pemasangan alat peraga di tempat umum, media sosial, iklan media massa cetak, media massa elektronik, dan internet, rapat umum, debat pasangan Calon tentang materi kampanye pasangan calon, dan kegiatan lain yang tidak melanggar larangan kampanye Pemilu dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Desain metode itu, diterjemahkan secara teknis pelaksanaan oleh KPU dengan menerbitkan regulasi teknis yakni Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2023 yang menguraikan secara teknis pelaksanaan metode-metode kampanye tersebut, hanya saja ada beberapa catatan di dalam penerjemahan secara lebih lanjut dan teknis dari peraturan tersebut, misalnya Kegiatan lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Di Dalam Pasal 55 PKPU 15 Tahun 2023 kegiatan lain salah satunya diterjemahkan perlombaan. Di dalam Perlombaan pada umumnya dan sewajarnya akan memberikan kategorisasi terbaik dan terdapat apresiasi dalam bentuk hadiah kepada pemenang.
Hal tersebut, justru secara tidak langsung bertentangan dengan pengaturan terkait dengan pemberian βmateriβ lainnya dalam kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (1) huruf j UU 7 Tahun 2017. Sehingga pemberian ruang KPU bagi para Peserta Pemilu melalui pelaksana kampanyenya justru bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Di sisi lain, terdapat pula hal yang patut menjadi catatan khusus, terkait dengan terbitnya surat keputusan KPU Nomor 1622 Tahun 2023 yang menetapkan biaya makan, minum, dan transportasi peserta kampanye Pemilu. Jika meninjau dari konsiderannya, Keputusan ini justru di dasarkan Pada Pasal 286 UU 7 Tahun 2017 yang merupakan penegasan terhadap larangan tidak memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara Pemilu dan/atau Pemilih.
Kedua hal tersebut di atas, bukankah menjadi bagian praktik money politics (politik uang) secara materil yang kemudian dilegalisasi melalui praktik formalistis dengan produk hukum dari KPU (?) hal itu justru mengabaikan moralitas sebagai bagian yang erat dari hukum sebagaimana disampaikan oleh K. Bertens (dalam Sidharta, 2015) yang menyatakan bahwa hukum membutuhkan moral, terdapat keterkaitan yang erat antara hukum, moral dan agama. Hukum yang tidak disertai dengan moralitas tidak akan memiliki arti dan dianggap tidak berkualitas dikarenakan kualitas hukum diukur dari moral. (*)