English English Indonesian Indonesian
oleh

Deklarasi Visioner Bidang Kelautan

Oleh: M Asri Arief

Sejak 1960, Indonesia mengajukan Deklarasi Djuanda yang mengusung archipelago principle. Suatu prinsip yang memandang laut sebagai satu keutuhan wilayah dengan daratan.

Secara historis, luas wilayah laut Indonesia hanya tiga mil diukur dari garis rendah di pantai masing-masing pulau Indonesia sebagaimana disebut dalam Territorial Zee Maritime Kringen Ordonantie (TZMKO) 1939. Konsekuensinya, di antara ribuan pulau di Indonesia terdapat wilayah laut bebas yang membahayakan keamanan wilayah Indonesia sebagai negara kesatuan.

Negara lain seperti Amerika Serikat dan Australia, sangat “berambisi” mempertahankan kondisi pulau Indonesia yang terpisah-pisah. Tetapi, pemerintah Indonesia, pada saat itu dengan berani “menentang” kepentingan negara asing tersebut.

Prinsip Deklarasi

Akses di wilayah laut yang mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka pada 13 Desember 1957 pemerintah Indonesia dipimpin Perdana Menteri Ir H Djuanda Kartawidjaja, mengeluarkan keputusan yang dikenal dengan Deklarasi Djuanda. Prinsip deklarasi itu menegaskan, pertama, integritas wilayah dan kesatuan ekonomi, ditarik garis pangkal lurus yang menghubungkan titi-titik terluar dari pulau terluar.

Kedua, negara berdaulat atas segala perairan yang terletak dalam garis pangkal lurus termasuk dasar laut dan tanah di bawahnya serta ruang udara di atasnya beserta segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Ketiga, laut teritorial seluas 12 mil diukur dari pulau terluar. Keempat, hak lintas damai kapal asing melalui perairan nusantara (archipelagic waters) dijamin tidak merugikan kepentingan negara pantai, baik keamanan maupun ketertibannya.

Deklarasi Djuanda, memang terkesan berani dan visioner. Tak heran, jika ada seorang wartawan Amerika yang memuji sosok Djuanda seperti dikutip oleh Taufik Abdullah (2001): “Nanti orang akan menyadari, betapa besar kerugian Indonesia dengan kematian Djuanda”.

Mengubah Pola

Sejak 1960, Indonesia mulai mengajukan Deklarasi Djuanda yang mengusung archipelago principle atau Wawasan Nusantara yang memandang laut sebagai satu keutuhan wilayah dengan daratan pada United Nations Conference on Law of the Sea yang digelar oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Tindak lanjut perjuangan untuk memperoleh pengakuan internasional, berbagai diplomasi telah dilaksanakan selama pemerintahan Orde Baru.

Walhasil, pada awal Desember 1982, gagasan “Negara Kepulauan” berhasil diakui secara internasional dalam United Nation Convention on Law of The Sea (Unclos 1982). Dalam konferensi yang dilaksanakan di Teluk Montenegro tersebut, sebanyak 130 negara menandatangani Konvensi Hukum Laut Internasional yang mengakui rumusan wilayah nusantara sesuai dengan konsep kenusantaraan bangsa Indonesia.

Sebagai penekanan kembali pada Deklarasi Djuanda, pemerintah Indonesia berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 126 Tahun 2001, menetapkan 13 Desember sebagai Hari Nusantara. Tahun ini, rangkaian peringatan Hari Nusantara 2023 akan dipusatkan di Kawasan Pantai Tugulufa, Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara.

Tema yang diusung “Merajut Konektivitas Nusantara dan Ekonomi Maritim dari Titik Nol Jalur Rempah”, tentu dengan harapan dapat mengangkat kembali posisi Tidore yang dikenal sebagai pusat rempah-rempah. Selain dikenal sebagai “dunianya” rempah-rempah sejak zaman kolonial, Indonesia juga kesohor sebagai negara kepulauan terbesar dan terletak di kawasan tropis, memiliki tingkat keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia (mega marine-biodeversity) serta kondisi alam pantai dan laut yang indah.

Oleh karena itu, kita seharusnya mengubah pola pengelolaan sumber daya kelautan yang cenderung mengandalkan comparative advantage yang berorientasi kuantitas dan keuntungan yang relatif sedikit. Harus diakui, pemerintah belum optimal menggali “sedalam samudera” kekayaan kelautan Indonesia.

Termasuk di bidang kepariwisataan. Menurut data pada triwulan III 2023, nilai devisa pariwisata mencapai lebih dari USD 6 miliar dengan konstribusi Produk Domestik Bruto (PDB) pariwisata sebesar 3,75 persen.
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) mencatat pada 2022 terdapat 3613 desa wisata dan 2023 meningkat menjadi 4714 desa. Nilai ekspor produk ekonomi kreatif pun sudah melampaui target dan menjadi rapor biru pariwisata nasional.

We can’t go back and new start, but we can start now to make new and better, memetik hikmah dari masa lalu dan tidak ada kata terlambat untuk memulai aktivitas pembangunan demi kemaslahatan bangsa Indonesia.(*)

DATA SINGKAT PENULIS
Nama : Dr. M. Asri Arief, S.H., M.Si., CTMP
Pangkat : Kolonel Laut (H)
Penugasan : Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan
Jabatan : Asisten Pidana Militer
Email : [email protected]

News Feed