Laporan: Sakinah Fitrianti B
Ketahanan pangan menjadi niscaya. Sangat, “proyek” sawit mendesak lahan padi yang seharusnya menjadi penyangga pangan.
PONTIANAK, Jumat sore, 3 November 2023. Sejumlah wanita membersihkan ladang dari rerumputan yang tumbuh liar di Dusun Beruak, Desa Gunam, Kecamatan Parindu, Kabupaten Sanggau. Ladang ini jadi penopang hidup mereka selama setahun, tak perlu lagi membeli beras ke pasar. Hasil berladang padi jadi konsumsi mereka tiap hari.
Ladang itu terletak di tengah-tengah perkebunan sawit. Yustina Simpun (67), mengaku rindu untuk berladang. Meski usianya sudah uzur, tak menyurutkan langkah kakinya ke ladang yang jarak dari rumahnya sekitar 2 kilometer. Dia dibantu tongkat dari batang pohon.
Meski tak banyak bergerak di ladang itu, Yustina ikut membersihkan dan mencabut rerumputan yang tumbuh liar di antara tanaman padinya itu. Kakinya tak sekuat dulu, waktu sawit mulai masuk ke desanya. Ia turun langsung ke kebun sawit, membantu memanen untuk dijual ke pengumpul.
Kini, ia tak bisa lagi. Kakinya sudah tak kuat untuk melangkah jauh dan mengangkat ember-ember yang berisi berondolan sawit yang merupakan buah sawit yang sudah terpisah dari pelepahnya. Pandangannya kosong. Yustina hanya ingin ke ladang lantaran rindu suasana berkebun yang sudah beberapa tahun terakhir tak dilakoninya, akibat kondisi kesehatannya yang mulai terganggu.
Ia dibantu dua anak perempuan dan menantunya ke ladang. Mereka begitu bersemangat mengecek padi yang mulai tumbuh. Satu anak perempuannya menggemburkan tanah agar makin subur dan terhindar dari rerumputan liar di sekelilingnya.
Yustina menyambut baik kedatangan penulis ke ladangnya itu. Selain bercocok tanam padi, ada pula sayuran. Ada sawi, jagung, dan bayam.
“Dulu waktu masih kuat jalan, saya ke kebun sawit, sekarang tidak sanggup lagi ke sana. Cuman bisa ke ladang ini. Di sini, kan, banyak rumput. Cuma ini yang bisa saya bantu juga, bersihkan rumput-rumputnya,” katanya.
Yustina bersyukur sisa lahannya yang 500 are ini, masih bisa dipakai untuk berladang, tidak semuanya dialihkan ke sawit dari total luas sekitar 1 hektare. Meski ini baru tahun kedua ia bersama dengan anaknya membuka ladang untuk bercocok tanam padi dan sayur-mayur.
Menurutnya ladang padi ini penting, untuk bisa memenuhi kebutuhan makan sehari-hari, sehingga mereka sisa membeli lauk pauk saja. Beras dan sayur tidak lagi dibeli dengan adanya ladang ini.
Apalagi, hampir seluruh lahan beralih ke sawit sejak sawit masuk ke perkampungan ini. Masyarakat berlomba menggarap lahan untuk sawit.Tak terkecuali lahan milik Yustina di perkampungan yang tak jauh dari ladangnya itu.
“Untung masih ada lahan untuk ladang tanam padi, jadi masih ada harapan kita tidak beli beras lagi. Kalau saja semua dialihkan ke sawit, kita pasti beli beras, sayuran juga masih ada di sini bisa kita tanam,” ungkapnya dalam bahasa Dayak yang diterjemahkan oleh pemandu yang ikut, Valen Andi.
Ada ironi terlihat. Tidak ada alat khusus yang dipakai para ibu-ibu ini, seperti sarung tangan, masker, dan topi. Sama sekali hanya berbekal tangan kosong ke kebun. Batang tumbuhan yang jadi tongkatnya sesekali dipakai menggemburkan tanah. Tak jarang tangannya terluka kena goresan rumput, ranting tumbuhan hingga digigit serangga.
“Ini sudah biasa, Nak, begini saja. Tidak ada alat apa-apa, tujuh tahun yang lalu saya sering panen brondolan pakai jari, sekarang tidak kuat lagi,” katanya.
Dahulu, ladangnya ini merupakan lahan perekebunan karet sekitar 500 are. Hasil cukup menjanjikan, meski tak seberapa bila dibandingkan dengan para pelaku usaha sawit lain di kampung itu. Namun, sejak masuknya sawit, lahan karet itu berubah menjadi area sawit karena hasilnya lebih menjanjikan daripada karet kala itu.
Sawit disebut cukup menjanjikan dengan keuntungan yang bisa mencapai tiga kali lipat dari modal yang dikeluarkan oleh petani pada mulanya. “Kalau sawit memang keuntungannya jelas, tentu sekarang hasilnya lebih bagus dibanding tahun 1999-2000 waktu itu masih saya turun ke kebun, tetapi orang beralih dari karet ke sawit,” sebutnya.
Yustina juga tak menampik, sejumlah tanaman budidaya bisa hilang di tengah perkebunan sawit. Olehnya itu, dua tahun lalu, ia bersama dengan anaknya mulai membuka lahan untuk padi dan sayur-mayur lainnya yang bisa tumbuh di antara area persawahan.
“Tetapi kita pikirkan juga, karena harga kebutuhan pokok yang naik, jadi lebih baik kalau kita buka lahan untuk padi. Jadi tidak perlu membeli beras lagi dalam setahun. Nah, ini pun lahan yang dipakai bekas sawit juga. Kita keluarkan untuk ladang, yang kerja juga anak-anak, jadi tidak pakai upah untuk pekerja, makanya sesekali kalau kuat saya ikut turun,” bebernya.
Sementara itu, Marselina (42) ikut menggarap lahan milik ibunya untuk membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari, agar tidak lagi membeli beras. Terlebih lagi ia punya dua anak yang harus dibiayai sekolah. “Kalau ikut di ladang, bisa dapat tambahan, jadi kita tidak lagi beli beras untuk sehari-hari,”sebutnya.
Sehari-hari, Marselina membuka warung makan, untuk membantu memenuhi kebutuhannya. “Di daerah Kecamatan Parindu. Jadi sehari-hari jualan di sana,” ucapnya.
Selain, berladang dan berjualan nasi campur, Marselina juga ikut turun ke kebun sawit saat masa panen, dua kali sebulan. Itu dilakukan untuk membantu keluarganya saat panen sawit. “Kalau pas panen, kita tetap turun juga bantu pungut brondolannya, kan kebun keluarga juga, jadi kita-kita saja yang turun bantu panen,”jelasnya.
Lusiana Ines (47) warga setempat pun demikian, ia juga turun berladang, di sisa lahannya yang masih ada untuk berladang padi dan sayur-mayur. Hasil ladangnya itu diperoleh sekali panen mencapai 9 karung beras. Sehingga dalam setahun ia juga tak lagi membeli beras di pasar. Hasil ladangnya cukup untuk makan setahun bersama suami dan dua anaknya.
“Ibu ikut menanam padi juga, kalau tetangga sudah menanam, biasa kita panggil untuk bantu-bantu menanam juga di ladang kami, jadi ada upah tenaganya pada saat ikut bantu menanam, hasilnya lumayan itu sekitar 50 karung, kemudian digiling jadi beras jadinya 9 karung bersih. Itu cukup untuk makan selama setahun, jadi tidak beli lagi beras,”bebernya.
Kepala Divisi Kajian dan Kampanye Walhi Kalimantan Barat, Hendrikus Adam menyampaikan bahwa, secara umum praktek ekstraksi Sumber Daya Alam (SDA) melalui konversi hutan berskala besar seperti sawit dan kayu tentu berdampak serius terhadap lingkungan, apalagi jika dibuka dalam hamparan yang sangat luas sehingga dampaknya itu sangat luas, mulai dari lingkungan hingga konflik yang ditimbulkan.
“Akhirnya praktek berladangnya cenderung menurun disebabkan berbagai faktor, faktor internal yaitu ketersediaan lahan yang semakin terbatas. Faktor lain itu dari generasi di mana, bertani menjadi urban ke kota. Sehingga tidak mewariskan lagi pekerjaan bertani itu ke generasi selanjutnya,”jelasnya.
Sementara faktor eksternal yaitu pemberian izin yang memang mewadahi masyarakat untuk beralih ke sawit. “Faktor eksternal yaitu adanya pemberian izin dari pihak luar terhadap lahan masyarakat. Hanya saja belakangan pada sektor pembukaan lahan yang besar melalui investasi semakin marak dilakukan akhirnya lahan tani semakin sedikit,”sebutnya.
Terpisah, Kepala Dinas Perkebunan dan Peternakan Provinsi Kalimantan Barat, Heronimus Hero saat ditemui di kantornya, mengatakan Sanggau merupakan penghasil sawit terbesar kedua di Kalimantan Barat, setelah Kabupaten Ketapang. Total lahan sawit mencapai 400 ribu hektare dan tanggungan pemerintah terhadap pekerja sawit yang dikover Jaminan Sosial sebanyak 2 ribu petani.
“Pemerintah provinsi mengalokasikan anggaran sebesar Rp15 miliar untuk perlindungan jaminan sosial bagi petani sawit di sana, sementara bagi hasil dari sawit di Kabupaten Sanggau itu sebesar Rp30 miliar,”ucapnya.
Ia pun membenarkan bahwa salah satu sentra perekonomian masyarakat Kabupaten Sanggau dari perkebunan sawit.“Sudah banyak juga petani yang berkebun secara mandiri sementara untuk perusahaan di Sanggau itu terdapat 50 perusahaan sawit,”ucapnya.
Ia juga tak menampik bahwa awalnya masyarakat Kabupaten Sanggau bercocok tanam lewat karet, namun sejak sawit masuk, maka masyarakat setempat beralih ke perkebunan sawit.
“Karet itu sudah ditinggalkan, masyarakat beralih ke sawit. Bahkan pemerintah setempat juga itu membentuk koperasi untuk mewadahi para petani sawit yang ada disana yang bermitra dengan pemerintah, pemerintah juga menyiapkan benih yang bersertifikat untuk mendukung hasil panen yang berkualitas,”jelasnya.
Tidak hanya itu, ia juga menilai tingkat kesejahteraan masyarakat yang beralih ke sawit pun semakin menjanjikan, yang awalnya angkutan hasil panen dilakukan dengan angkutan seadanya, sekarang sudah memakai mobil.
“Ini kita lihat jelas ada peningkatan perekonomian, mereka kan sudah pakai mobil, sementara untuk petani yang punya lahan di bawah 2 hektare itu ada bantuan pemerintah, seperti benihnya yang bagus itu difasilitasi semua, termasuk perbaikan infrastruktur jalannya,”jelasnya.
*****
Sawit Tak Jamin Keamanan Pangan
Sawit masuk ke Desa Gunam, Kecamatan Parindu pada 1980-an. Saat itu, Lusiana Ines (47) masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). Orang tuanya mulai menggarap sawit, beralih dari karet. Lusiana pun kerap ikut ke kebun melihat para pekerja sawit, memupuk hingga saat panen. Waktu itu pun, Lusiana ikut membantu memungut brondolan yang jatuh dari pelapahnya.
“Pas saya masih SD itu, sawit mulai masuk di sini yang bawa orang dari Medan. Nah, di situlah mulai plasma dan sawit inti, yang kemudian secara perlahan dikelola orang-orang di sini dengan beralih lahannya,” katanya.
Setelah berumah tangga, tugasnya sebagai seorang ibu pun tetap dilakoninya dengan baik, sembari mengurus sawit. Sebelum matahari pagi menyingsing di ufuk timur, Lusiana sudah menyiapkan menu untuk sarapan dua anak dan suaminya, sebelum berangkat ke sekolah anak-anaknya dan ia bersama suaminya ke kebun.
Ia pun menyebut pendapatan dari sawit cukup menjanjikan dan bisa memenuhi hidup sehari-hari bahkan lebih dari itu. Ia punya tujuh kapling lahan perkebunan sawit, satu kapling terdapat 250 pohon yang hasil panennya bisa mencapai hingga tiga ton dalam sebulan. Dengan keuntungan yang diperoleh Rp13 juta dalam sebulan, apabila harga TBS Rp2.200/kilogram seperti harga saat ini.
“Iya menjanjikan hasilnya, apalagi panen bisa sampai dua kali dalam sebulan. Namun Sekarang agak menurun, kalau biasanya dapat 3 ton dalam satu kapling, sekarang buahnya kurang jadi cuman dapat 700 kg. Jadi hasilnya juga turun karena buah tidak sebanyak tahun lalu. Bersih bisa dapat belasan juta juga sebenarnya, tetapi dipakai upah orang juga untuk bantu, upahnya itu mulai Rp150 ribu- Rp250 ribu per hari tergantung jenis pekerjannya,” ungkap Perempuan suku Dayak hibun ini.
Sama halnya dengan yang dialami Ludiah (37) dari Dusun Modah, Kecamatan Parindu, ia mengaku membuka lahan untuk lading padi demi memastikan keberlangsungan hidup dan keluarganya, mengingat harga sawit yang tak menentu, sulit untuk diharapkan jadi satu-satunya penghasilan untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya.
“Harga-harga kebutuhan pokok sekarang kan rata-rata naik, ekonomi lagi anjlok karena semua harga naik, sementara harga TBS ini turun. Jadi kita sulit juga, beda dengan tahun lalu itu harga bagus, jadi keuntungan juga bagus. Nah, sekarang bedanya bahan pokok naik, harga sawit turun,”ungkapnya.
Sehingga, kata Ludiah, salah satu upaya yang ia lakukan bersama dengan suaminya adalah membuka lahan untuk tanam padi dan sayur-mayur agar dapat bertahan hidup di tengah harga sawit yang tidak menentu.
“Sekarang musim padi juga, untung kita ada lahan meskipun jauh, ini jadi sampingan karena harga sawit inikan tidak menentu, kita tidak makan kalau hanya berharap sawit saja, makanya kami buka ladang yang jelas untuk makan sudah ada, jadi memang ladang ini hasilnya tidak dijual, untuk makan saja,” sebutnya.
Terlebih lagi, ia juga menyebut adanya penurunan harga buah sawit dari tahun sebelumnya dan itu sangat berdampak terhadap perekonomian keluarganya, untung kata Ludiah ia diselamatkan dengan adanya ladang padi. Sebab, harga sawit yang tidak menentu dalam setiap waktu, menjadi ancaman tersendiri akan kelangsungan hidup para petani sawit, jika hanya menjadikan sawit sebagai satu-satunya sumber penghasilan.
Bagi Ludiah, berladang dengan menanam padi, akan lebih menjamin keberlangsungan hidupnya, sebab hasilnya lebih jelas, meski masih sebatas konsumsi semata. Namun, sudah menjamin keberlangsungan hidupnya beserta dengan keluarganya.
“Tahun lalu itu harganya dapat Rp3ribu, sekarang hanya dapat Rp2 ribu lebih saja, jadi jauh turunnya. Belum dipotong juga biaya angkut ke pengumpul jadi belum bersih itu hasil keuntungannya, apalagi sekarang bukan musim buah jadi cuman dapat 1 ton saja, padahal tahun lalu dapat 2 ton per bulan untuk lahan 2 hektare, itu kita dapat Rp10 juta,” paparnya.
Ia mengaku turun ke kebun sawit miliknya sekitar 2 hektare ini untuk membantu suaminya yang lagi panen buah sawit. Meski pagi hari, Ludiah harus mengantar terlebih dahulu anaknya ke sekolah yang masih duduk di bangku SMP, kemudian lanjut ke kebun sawit membantu suaminya memanen buah sawit.
“Hasil sawit ini untuk kebutuhan lain, seperti untuk sekolah juga atau keperluan rumah tangga dan keperluan lain yang mendesak. Makanya setiap pagi kalau musim panen, saya datang jam 9 pagi, jadi saya bantu suami turun ke kebun sawit daripada ambil orang, saya juga antar anak sekolah dulu, masih ada anak sekolah SMP, terus yang satu sudah selesai tidak lanjut sekolah, dia tidak mau lanjut. Jadi ikut bantu-bantu kita di kebun,” bebernya.
*****
Harus Tetap Bertahan
Ladang padi harus tetap dipertahankan. Apalagi, di wilayah kedaualatan pangan, mestinya jadi prioritas.
Itu disampaikan Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin, Prof Rahim Darma. Kebutuhan pokok sangat mendasar dan perlu untuk dipertahankan, apalagi di wilayah Sulsel yang juga sebahagian wilayahnya mulai ditanami komoditas sawit, seperti di Kabupaten Luwu Timur.
“Perwilayahan komoditas dan kedaulatan pangan harus menjadi prioritas,” jelasnya.
Sampai saat ini, Indonesia masih selalu impor beras, lantaran kebutuhan mendasar ini dibutuhkan. Sejauh ini, beras hanya dapat tumbuh baik di Sulsel dan Jawa dan sebagian Sumatera.
“Sawit bisa ditanam di Papua, Kalimantan, dan yang lain yang memang tidak terlalu cocok dengan padi,” ucapnya.
Meski demikian, ia tetap berharap agar alokasi lahan untuk padi tetap diperhitungkan di seluruh wilayah di Indonesia, termasuk wilayah yang didominasi perkebunan sawit, seperti di Pulau Kalimantan.
“Kalau perlu memang tiap-tiap petani itu tetap mempertahankan atau membuka lahan untuk padi sampai 1 hektare,” pungkasnya.
Meski terbilang dapat sejahtera dengan sawit, para petani bias justru bertahan hidup dari ladang pertanian, seperti padi. “Iya kondisinya memang betul seperti itu, makanya sangat perlu untuk mempertahankan ladang padi,” imbuhnya.
*****
Peran Ganda Perempuan
Perempuan Suku Dayak di Kabupaten Sanggau dikenal pekerja keras. Mereka punya beban berlebih. Peranan ganda tetap dilakoni, menjadi pekerja dan pemilik pun dijumpai. Perempuan tak kenal batas, pekerjaan yang sama didapatkan.
Ketua Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Kabupaten Sanggau, Valens Andi, menyampaikan perempuan Sanggau dikenal pekerja keras. Advokasi terhadap perempuan pekerja sawit pun disebut nihil sampai saat ini, salah satu faktornya lantaran perempuan menjadi pemegang kendali perkebunan sawit. Bukan saja sebagai pekerja, namun pemilik perkebunan sawit mandiri.
“Kasus terkait dengan pekerja perempuan itu dalam catatan kami tidak ada, karena perempuan sudah menjadi bagian dari pemiliknya. Bahkan pekerja sawit itu sudah jarang dan susah ditemui. Karena mereka yang punya langsung yang garap juga,”ungkapnya.
Perempuan dan laki-laki memiliki tingkat kesetaraan yang sama dalam hal pekerjaan. Antara laki-laki dan perempuan mendapat porsi yang sama, meski berbeda pada jenis pekerjan. Seperti pada aspek kebiasaan, laki-laki yang mengangkut, perempuan yang memungut atau memisahkan pelepah.
“Tidak pernah terjadi kasus hukum terkait dengan perempuan, karena pekerjannya juga jelas dan tidak melebihi batasnya, jadi pada dasarnya memang dari dulu tidak ada masalah pada sektor ini, banyak pekerja sawit perempuan dia juga yang punya lahan bahkan dia yang mengupah orang di lahannya untuk bekerja,” bebernya.
Tidak hanya di perkebunan, keterlibatan perempuan juga disebut aktif saat pertemuan-pertemuan. “Jadi ibu-ibu itu terlibat aktif, kalau ada pertemuan itu ada keterwakilan perempuannya juga, jadi seimbang,”tambahnya.
Senada dengan itu, Kepala Divisi Kajian dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Barat, Hendrikus Adam, saat ditemui di kediamannya di Kota Pontianak. Dia menyampaikan, advokasi mengenai perempuan belum ditemukan dalam bentuk kasus, namun edukasi dan pembinaan terus dilakukan setiap pelaksanaan sosialiasi. Yang perlu ditekankan adalah perelengkapan atau alat pelindung diri yang kerap diabaikan oleh pekerja, termasuk pekerja perempuan, apalagi yang mengelola kebunnya sendiri.
Meski belum ada laporan di Sanggau terkait pekerja sawit perempuan, ia tetap menilai perempuan rentan saat berada di kawasan perkebunan sawit. Rentan terhadap pekerjaan beban fisik yang berlebih dan perlakuan diskriminasi, apalagi mereka yang bekerja di perusahaan, sehingga harusnya perempuan tetap memerlukan langkah advokasi yang berkelanjutan untuk memitigasi dari ancaman yang dapat mengintai.
“Buruh perempuan di perkebunan kelapa sawit yang kita lihat di lapangan mereka tidak diberikan bekal yang cukup, seperti hak-haknya dalam aspek kesehatan reproduksinya. Padahal itu penting, karena pekerjannya ketika mereka terlibat di sawit itu akan berpengaruh dengan kondisi kesehatannya, termasuk kesehatan reproduksi, sehingga perlu ada edukasi kepada perempuan-perempuan yang bekerja di sawit,”sebutnya.
Kata Hendrikus, aspek kesehatan perempuan Itu penting diperhatikan. Ketika tidak ada perlindungan terhadap mereka, maka akan menyebakan mereka menjadi rentan jadi korban berlapis.
“Apalagi, perempuan di sana itu berperan ganda, sebagai pekerja harian ada yang menjadi tenaga tebas, bersihkan rumput, bersihkan kebun dan pelepah sawit. Perlindungan ini perlu mereka perhatikan, jangan sampai berdampak kepada kesehatannya,” urainya.
Bagi yang kerja mandiri itu justru punya otoritas menentukan pilihan-pilihan pekerjaan. Akan tetapi, tetap saja perlindungan dan keamannya kadang juga diabaikan dengan dalih sudah terbiasa dengan pekerjaan itu.
“Cuman masalahnya yaitu seberapa mungkin mereka yang kelola secara mandiri itu memiliki tingkat kesadaran terkait keselamatan kerja. Penting ada semacam edukasi, yang memang mestinya bisa diberikan. Secara spesifik kita belum ada yang sorot khsusus perempuan dan anak dan dalam aktivitas di lapangan, sehingga menjadi penting juga untuk kita lihat dampak lain, yaitu pada kelompok rentan seperti pekerja anak dan perempuan menjadi penting untuk kita cek juga di lapangan terkait dengan keamanan dan perlindungannya,”paparnya.
Salah seorang petani perempuan sawit di Dusun Modah, Desa Rahayu, Kecamatan Parindu, Ludiah (37) saat dijumpai, tengah sibuk memilah-milah satu persatu brondolan yang jatuh dari pohonnya. Dengan cekatan ia memungut satu per satu brondolan itu dimasukkan dalam jarai. Jarai adalah anyaman yang dibuat khusus untuk menyimpan brondolan sebelum dibawah ke mobil angkutan atau truk.
Ludiah sudah belasan tahun bekerja memungut brondolan sawit, itu di kebunnya sendiri. Di sana juga ada suami dan anak serta kerabatnya yang ikut memanen sawit. Sebuah truk terparkir berisikan ratusan tandan sawit dan karung brondolan sawit yang siap untuk diangkut ke pengumpul.
Ludiah masih begitu muda, tak heran ia begitu antusias memungut satu persatu brondolan yang jatuh, setelah ditebas dari pelapahnya. Ludiah sembari memungut brondolan itu, ia juga menceritakan bahwa hasil panen sawit kini menurun dari tahun-tahun sebelumnya. Tahun lalu ia menyebut bisa menjual dengan harga Rp3 ribu kini hargnya berkisar Rp2ribuan saja. Sehingga dalam sebulan ia hanya meraup keuntungan belasan juta.
“Iya pakai sarung tangan ini, biar lebih aman takut kena apa-apa, sama jarai, ini untuk simpan brondolan. Setiap musim panen, saya turun tiap jam 9 pagi setelah antar anak ke sekolah terlebih dahulu, kemudian menyiapkan makanan untuk di makan siang di kebun, barulah saya ke kebun bantu pungut buah yang jatuh-jatuh ini,” jelasnya.
Kata Ludiah, tiap harinya ia membawa makanan hasil ladangnya, yaitu sayur frengki yang diambil dari ladangnya sendiri. “Untuk makanan itu kami ambil di ladang sendiri, jadi tidak beli lagi,” ucapnya.
Ludiah memastikan juga pemenuhan gizi terhadap anak-anaknya dengan senantiasa memberi makanan yang sehat, apalagi ia mengelola ladang padinya sendiri. “Selain frengki ada timun juga kita buat sayur, itu memang untuk konsumsi sehari-hari saja, bukan untuk dijual,”sebutnya.
Tidak hanya Ludiah, perempuan lainnya, Elizabeth (38) yang ditemui di balai-balai perkebunan sawit di Desa Pusat Damai, Kecamatan Parindu ini tengah sibuk memetik satu persatu sayur yang diperoleh diantara perkebunan sawit milik aparat desa setempat. Ia mengaku, tiap waktu istirahat setelah memungut brondolan, ia memasak untuk para pekerja, memang terlihat di Balai-balai itu sudah dilengkapi dengan kompor, panci dan alat masak lainnya.
“Iya ini sayur frengki untuk makan sebentar, tidak dibeli, cuman dipetik dari ladang, jadi setelah kita panen pungut brondolan, terus masak sayur, ini kita makan sama nasi. Nasinya itu sudah dibawah dari rumah, jadi tinggal sayurnya yang dimasak disini,”katanya.
Sementara itu, Divisi Advokasi SPKS Sanggau, Listian Danu mengaku tetap akan memberi ruang advokasi untuk perempuan dalam rangka antisipasi apabila ada kasus yang menyeret pekerja perempuan. Meski sejauh ini, laporan terkait kasus perempuan di perkebunan sawit belum dijumpai oleh SPKS.
“Ini akan jadi perhatian kami, bagaimana perempuan itu bekerja di sawit, harus sesuai dengan porsinya saja, seperti memetik buah, menyusun dahannya atau memupuk, sampai disitu saja, untuk mengangkat itu bukan bagian dari pekerjaan mereka, ini yang perlu kami atensi juga kedepannya, tetapi sejauh ini tidak ada yang demikian,”ucapnya.
Meski demikian, ia menilai perempuan yang memiliki peran ganda tentunya, tak mengabaikan aspek kesehatannya termasuk dalam hal konsumsi untuk tetap memastikan makanan-makanan yang dikonsumsi anak dan keluarganya baik di rumah maupun di kebun itu sangat dijaga.
“Sebenarnya dalam segi kesehatan itu, ibu-ibu ini memperhatikan meski masih cara tradisional. Jadi kami melihat mereka masih mempertahankan budaya mengelola makanan secara tradisional, seperti alat-alatanya dan diambil di kebun sendiri,”ungkapnya.
Bahkan untuk berobat, selain sudah ada fasilitas kesehatan, para ibu-ibu tetap mempertahankan dengan pemberian ramuan herbal dari dalam kebun yang diambil langsung.
“Budaya berobatnya juga seperti itu, jadi secara tradisional, mereka memanfaatkan daun-daun, kayu sampai akar pohon untuk dijadikan obat,” tambahnya.
Sementara disinggung terkait angka stunting sendiri, ia mengaku melihat sejauh ini kondisi kesehatan masyarakat dan anak cukup baik. Namun ia tak menampik jika kasus stunting masih ada di daerahnya itu.
“Kalau stunting saya kira ada, namun kita juga tidak ada data terkait ini, tetapi upaya untuk edukasi itu juga ada, mereka paham betul juga terkait aspek kesehatan, salah satunya pemberian makanan yang sehat, seperti sayuran. Sementara untuk berobat ke fasilitas kesehatan juga sudah ada, mulai puskesmas, rumah sakit sampai ada juga masyarakat yang berobat ke Malaysia,” bebernya. (fit/zuk)