Masjid ini memang menjadi saksi bisu bagaimana Fatia mengumpulkan pengalaman-pengalaman itu yang kemudian ia tuangkan ke dalam bukunya. Hebatnya lagi, ia mampu bernbahasa Inggris. Tiga kali sepekan dirinya menyisihkan waktu untuk berdiskusi Bahasa Inggris. Ada komunitasnya yang didominasi anak-anak muda di Masjid Al Markaz Al Islami.
Acap kali Fatia juga mengikuti kajian-kajian umum, di kampus-kampus, atau yang diadakan gratis oleh lembaga. Itu juga jadi kesempatan untuk menjajakan bukunya yang ia jual seharga Rp15-20 ribu kepada mahasiswa. Targetnya memang mahasiswa, sebab harga tersebut lebih ramah di kantong.
Meski demikian, tak sedikit orang-orang dari kalangan dosen bahkan dekan dari salah satu universitas swasta yang membeli bukunya. Entah untuk mengetahui isinya, penasaran atau hanya sekadar rasa kagum kepada wanita tersebut. Dari pengakuannya buku karyanya itu bahkan telah terjual lebih dari 300 copy.”Malah ada yang diborong juga,” katanya.
Fatia mengaku sangat cinta dengan profesinya. Sebelumnya, ia seorang pedagang kue keliling, pernah pula menjadi penjual kaos kaki. Namun dirinya tertaut dengan profesi pemulung tersebut karena benar-benar menikmatinya.
“Cantik, gagah, dikalahkan oleh uang, uang dikalahkan oleh relasi, dan relasi itu dikalahkan oleh kenyamanan. Nah kenyamanan ini yang membuat saya betah memulung,” katanya.
Menurutnya di sisa umurnya akan ia sisihkan untuk menimba ilmu. Pun dia berpesan kepada anak-anak muda untuk tidak mudah menyerah, giat, dan jangan malu. Tak ada alasan termasuk masalah ekonomi, sebab uang bisa dicari dengan bekerja. “Maka kerjakan apapun,” imbuhnya. (*)