Selanjutnya masuk tokoh Daeng Mangalle dan pasukannya dengan property badik dan parang. Kira-kira 2 menit, tiba-tiba pasukan penari Balira dan pasukan penari Tombak menyerbu panggung, saling mengadu kekuatan dengan pergerakan cepat yang secara simbolik menggambarkan suasana perang Makassar.
Pasukan ini dikelompokkan menjadi empat pasukan, yaitu pasukan tombak, pasukan badik, pasukan parang, pasukan balira, dengan ragam gerak dan ragam komposisi menyerbu panggung sebagai ruang medan perang hingga selesai. Semua out. Hening. Sepi. Adegan ini tidak terlalu lama karena hanya sebagai opening.
Lalu cahaya dan musik berubah, mengantar adegan yang menggambarkan para aktor yang memerankan pasukan Daeng Mangalle dari sudut panggung muncul ke atas panggung dalam keadaan sedih, letih dan lapar.Masing-masing aktor berdialog yang merepresentasikan tentang kekalahan mereka di medan perang Makassar.
Mereka kecewa kepada para pemimpin yang telah menanda tangani Perjanjian Bongaya di atas makam leluhur mereka. Mereka tidak punya apa-apa lagi. Banyak rakyat menderita dan mati kelaparan. “Lebbumui mate maddarae dari mate tammanre”. Lebih berharga mati dengan berdarah, daripada mati kelaparan.Malleke dapureng”. Mari kita harus memindahkan “dapur kita” ke tempat yang lebih baik, sekalipun kita “mate maddara!”. Mari kita tinggalkan tanah tempat kelahiran kita, dengan membawa siri’ kita, harga diri kita. Begitu para pasukan ini menyampaikan perasaannya melalui dialog secara bergantian karena kecewa terhadap Pengesahan Perjanjian Bongaya.