Beberapa aturan dalam undang-undang dinilai mengutamakan pihak investor daripada masyarakat Indonesia itu sendiri. Yang paling mengganjal adalah proses pengesahan Perppu Cipta Kerja yang terburu-buru. Sejumlah pasal dinilai merugikan kaum buruh
Tenaga Alih Daya UU Cipta Kerja (Pasal 64)
Pasal ini dikhawatirkan oleh serikat buruh sebab tidak ada penjelasan mengenai penggunaan tenaga alih daya atau outsourcing.
Upah minimum UU Cipta Kerja (Pasal 88C, 88D, dan 88F)
Pasal 88D ayat 2 perppu cipta kerja dinilai semakin meyakinkan upah murah bagi para buruh. Upah minimum kota/kabupaten sebagai dasar upah minimum pekerja juga turut dihapuskan pada pasal 88C. Pasal tersebut bisa saja mengancam para pekerja (buruh).
Waktu Kerja Lembur UU Cipta Kerja (Pasal 78)
Pada UU ketenagakerjaan yang lama disebutkan bahwa waktu kerja lembur maksimal 3 jam per hari dan 14 jam seminggu, sedangkan pada pasal ini waktu kerja lembur berubah menjadi 4 jam sehari dan 18 jam seminggu. Dengan adanya pasa diatas secara tidak langsung memaksakan para pekerja untuk bekerja ekstra dengan upah minimum.
Pemotongan waktu istirahat UU Cipta Kerja (Pasal 79)
Pada pasal ini para pekerja hanya diberikan waktu istirahat mingguan selama satu hari dan enam hari bekerja dalam sepekan, sedangkan dalam UU Ketenagakerjaan yang lama diatur hari libur sebanyak dua hari dalam satu pekan.
Beberapa pasal di atas dinilai tidak relevan karena akan menyulitkan kaum buruh. Perusahaan lah yang akan diuntungkan, sedangkan buruh?
Hal tersebut telah menimbulkan banyak pertikaian dikalangan masyarakat karena menerbitkan perppu cipta kerja secara tergesa gesa dan kurang trasparan dengan publik sehingga kejanggalan demi kejanggalan serta ketidakoptimalan dalam melakukan peraturan tersebut seakan akan pemerintah tidak terlalu mementingkan itu dan melarikan diri dari masalah. Akibatnya masyarakatlah yang akan menerima dampak dari para pemegang kekuasaan itu.