Makna yang dikandungnya sarat nilai. Zaman berubah, lalu menjadi penggerus tumbilotohe.
Tumbilotohe merupakan salah satu dari berbagai tradisi yang ada di Provinsi Gorontalo. Ditandai dengan kemeriahan dan disertai dengan pemasangan suluh atau lampion yang dilakukan pada malam hari.
Biasanya, ketika sepertiga bulan Ramadan berlalu, menandakan sukacita bagi masyarakat Gorontalo. Tradisi yang di nanti-nanti akan segera tiba. Tradisi itu bernama tumbilotohe.
Tradisi tumbilotohe atau pemasangan suluh pada akhir sepertiga bulan Ramadan ini hanya ada di Gorontalo. Kerap juga disebut “Malam Pasang Lampu”. Tradisi unik ini masih dilestarikan oleh masyarakat Gorontalo hingga sekarang.
Tumbilotohe berpengaruh terhadap pemahaman masyarakat Gorontalo. Mereka meyakini tradisi malam pasang suluh ini memiliki kaitan dengan Lailatulqadar. Masyarakat sangat antusias dan menyambutnya dengan suka cita dengan melakukan pemasangan suluh di setiap depan rumah dan di jalan-jalan, khususnya jalan menuju masjid.
Tradisi ini sudah ada sejak lama dan telah turun-temurun oleh masyarakat Gorontalo hingga saat ini. Pada awalnya lampu botol tersebut dipasang sebagai penerang jalan untuk memudahkan masyarakat pada zaman dahulu pergi ke masjid. Sekaligus memudahkan masyarakat membayar zakat fitrah pada malam hari.
Fungsi lainnya, memudahkan umat Islam ke rumah tetangga setelah salat Tarawih karena pada saat itu lampu botol tersebut digunakan sebagai penerangan lantaran belum ada listrik. Hal tersebut membuat masyarakat terbiasa menyalakan suluh botol menuju tiga hari sebelum Lebaran hingga menjadi tradisi yang terus dilestarikan sampai saat ini.
Tumbilotohe juga telah menjadi festival dan selalu dinanti oleh masyarakat Gorontalo. Biasanya, pemasangan lampu di lakukan pada sepertiga akhir Ramadan. Lebih tepatnya tiga hari menjelang Lebaran, masyarakat berbondong-bondong menerangi halaman rumah dengan menyalakan suluh botol atau yang biasa masyarakat Gorontalo sebut dengan tohe butulu.
Intervensi Digitalisasi
Pada mulanya masyarakat Gorontalo merayakan tumbilotohe dengan memasang atau menyalakan api menggunakan sumbu yang dimasukan ke dalam botol bekas yang berisi minyak tanah. Seiring perkembangan zaman dan berkembangnya teknologi digital hal ini menggeser dan menciptakan perubahan besar pada proses, cara, serta alat dan bahan yang digunakan untuk menyalakan lampu.
Zaman terus berkembang modernisasi terhadap tradisi tumbilotohe semakin berubah mulai dari penggunaan secara tradisional kini telah berubah menjadi secara praktis dan efisien juga dapat digunakan dalam jangka waktu yang cukup panjang secara berulang.
Tak heran, kini mengalami beberapa perubahan pada pembuatan penerangan yang digunakan pada malam hari di hari. Mulai dari penggunaan damar sebagai bahan bakar yang merupakan getah pohon yang jika dibakar akan menyalakan api, kemudian padamala yang terbuat dari kelapa yang diisi minyak kelapa, dan sumbu yang berfungsi sebagai penyerap minyak kelapa agar dapat menyalakan api yang dipasang.
Ada pula variasi lampu tumbilotohe yang menggunakan gelas di bawahnya terisi air warna-warni dan di atas air diberi minyak kelapa. Sumbunya menggunakan kapas dan gabus agar dapat mengapung, hingga kreasi lampu tradisional yang saat ini masih digunakan yaitu terbuat dari bahan botol kaca yang diberi minyak tanah dan menggunakan sumbu.
Belakangan masyarakat Gorontalo terutama di kota, beralih menggunakan teknologi yang lebih maju. Mereka untuk membuat penerangan pada malam hari menggunakan lampu yang lebih modern, seperti lampu tumblr, LED strip, proyektor, dan lain sebagainya.
Ini perlahan mencabut akar tumbilotohe tradisi lama yang menggunakan padamala, kaleng bekas, gelas, dan botol bekas sebagai wadah untuk menyalakan api yang akan menjadi penerang. Hal ini merupakan dampak dari berkembangnya teknologi digital modern yang terjadi di Kota Gorontalo.
Dampaknya, keaslian dari tumbilotohe kian memudar. Sangat berpotensi tradisi tumbilotohe ini akan mengalami perubahan yang signifikan pada masa akan datang. Muncul kekhawatiran, generasi mendatang akan melupakan keaslian maupun kearifan lokal dari tumbilotohe. (*)
Julian Habibie
Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas Negeri Gorontalo (UNG) yang sedang magang FAJAR.
Tulisan ini untuk memenuhi tugas membuat “OPINI”.