Salah satu rukun Islam yang banyak dibicarakan di mimbar ceramah pada akhir ramadan adalah persoalan zakat. Menariknya itupun zakat fitrah dikupas tuntas, baik dari segi fikihnya maupun dari segi sosial ekonomi. Yang sedikit luput dari pembahasan zakat adalah zakat mal kurang menarik diceramahkan. Padahal potensi ekonomi umat ada pada zakat mal sebagai salah satu rukun Islam yang masih banyak diabaikan. Seorang teman ustaz pernah berseloroh, kita bisa menyaksikan orang antre naik haji, bahkan rela menunggu berpuluh tahun. Tetapi tidak pernah kita menyaksikan orang antre pergi membayar zakat di Lembaga Amil Zakat seperrti di BAZNAS. Namun, kita bersyukur masyarakat Indonesia masih terkenal sebagai manusia penderma. Hal ini terbukti dari laporan dari World Giving Index (WGI) pada tahun 2021 yang dirilis oleh CAF (Charities Aid Foundation). WGI menempatkan Indonesia di peringkat pertama dengan skor dari 69%, naik dari skor 59% di indeks tahunan terakhir yang diterbitkan pada tahun 2018. Pada saat itu, Indonesia juga menempati peringkat pertama dalam WGI.
Sayangnya sikap kedermawanan masyarakat Indonesia berderma belum berbanding lurus dengan sikap dalam mengeluarkan zakat di kalangan orang mampu (agniya). Padahal data potensi zakat di Indonesia seperti yang dilaporkan Pusat Kajian Strategis BAZNAS mencapai Rp327 triliun per tahun. Potensi itu berasal dari zakat penghasilan, jasa pertanian, perkebunan, peternakan, dan sektor lainnnya. Total potensi yang terkumpul pada tahun 2021 baru sebesar Rp17 triliun, pengumpulan ini masih belum optimal. Menurut Prof Noor Achmad, ketua BAZNAS RI, andai target ini terpenuhi diperkirakan ada 56 juta orang yang akan menerima manfaat dari pengumpulan zakat.
Para ulama kita menyebutkan, bahwa zakat merupakan salah satu komponen pokok kesempurnaan keislaman seseorang. Menjadi kunci keshalihan seseorang, baik terhadap Tuhannya maupun terhadap sesamanya. Zakat dikategorikan ibadah yang memiliki dua dimensi, yaitu dimensi ruhiyyah dan dimensi maliyah. Dimensi ruhiyah, zakat diharapkan dapat membersihkan jiwa pelakunya (muzakki) dari sifat bakhil, kikir, loba, dan tamak agar tumbuh rasa solidaritas terhadap golongan lemah. Solidaritas tersebut dibangun dalam bingkai kemanusiaan untuk membersihkan jiwa penerimanya (mustahiq) dari perasaan iri hati dan benci terhadap orang kaya. Dimensi maliyah, zakat diharapkan dapat memisahkan kekayaan orang kaya yang menjadi hak orang orang miskin serta dapat meratakan fungsi kekayaan dalam kehidupan, khususnya bagi mereka yang tidak memiliki modal.
Dalam perspektif ekonomi, zakat adalah suatu gerakan untuk mentransformasikan kehidupan ekonomi. Dari ekonomi yang yang individualistik, meterialistik, kapitalistik, liberalistik yang didorong oleh keserakahan dalam mengejar kenikmatan, menjadi suatu peri kehidupan kebersamaan dan kesejahteraan. Zakat adalah melindungi sumber daya, menghormati harkat dan martabat manusia, serta mampu mencegah berbagai konflik dalam masyarakat. Dalam mentransformasikan sebuah kehidupan, zakat bukan sekadar penyerahan kekayaan kepada kelompok miskin untuk menyehatkan kehidupannya, melainkan harus tercakup di dalamnya pendidikan jiwa manusia, baik si pemberi maupun penerima.
Dalam al-Qur’an disebutkan, bahwa zakat itu harus “diambil” bukan diminta. “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka.” (QS. At-Taubah: 103). Dalam ayat ini ada tiga tujuan zakat yang ingin dicapai; membersihkan mereka dari dosa-dosa dan akhlak tercela; dan menumbuhkan akhlak yang terpuji pada diri mereka; serta membuat harta mereka berkembang. Wallahu a’lam