OLEH: Muhammad Arham, Alumni Sastra Inggris FIB Unhas
Saya masih ingat, sekitar 18 tahun yang lalu di wilayah pinggiran kota Lautangsalo, Sidenreng Rapang, kami pernah terlambat datang mengaji karena suatu urusan di sekolah. Haji Ambo Endeng, guru mengaji kami, menasihati, de na marigaga to sibuk sibawa urusang pada tta rupa taue, tapi aja lalo mallupai urusang mu sibawa Puang Allah Taala, iyamitu passabarangnna adecengengng’e. Meskipun sudah lama, belakangan baru saya sadari bahwa waktu itu beliau sedang mengajarkan kami tentang satu konsep relasi dalam Islam: konsep hablum, yakni hablum minannas dan hablum minallah.
Dalam Islam, konsep ini membimbing seseorang untuk mendatangkan adecengeng atau kebaikan untuk dirinya, sedangkan dalam politik makna kebaikan ini meluas: kesejahteraan sosial yang merata. Pertanyaannya kemudian, bagaimana kita mengejawantahkan konsep hablum minannas dan hablum minallah ke dalam konteks politik?
Hablum minannas merupakan relasi manusia yang sifatnya horizontal dengan manusia yang lain, sedangkan hablum minallah adalah relasi manusia yang sifatnya vertikal dengan Tuhan, atau biasa disebut dengan Yang di Atas. Sebenarnya, kedua jenis relasi ini adalah cerminan bagaimana relasi sosial dalam masyarakat itu terbangun.
Relasi horizontal atau hablum minannas mungkin agak mudah kita pahami sebagai hubungan politik antar satu kelompok dengan kelompok lain atau interaksi beragam identitas. Sementara itu, hablum minallah atau relasi vertikal ini sedikit rumit karena kita mungkin akan bertanya-tanya apakah ada urusan politik dengan Tuhan? Tentu tidak segampang itu menginterpretasikannya. Jadi, bagaimana membawa konsep ini ke dalam konteks politik yang kita butuhkan? Jawabannya adalah kita perlu memahami relasi vertikal ini sebagai struktur sosial atau hubungan politik dari atas ke bawah dalam masyarakat.
Hablum Minannas dan Relasi Horizontal
Hubungan horizontal kita dengan kelompok lain juga merupakan simbol keberagaman. Semakin banyak kelompok yang terhubung, kemudian berinteraksi, dalam suatu negara, semakin tinggi modal sosial masyarakat di negara tersebut untuk bekerjasama mengelola modalnya demi menciptkan kesejahteraan yang merata. Sebagaimana yang kita ketahui di Indonesia sendiri, di samping sumber daya alam, modal sosial ini juga sangat berlimpah karena tingkat keberagaman masyarakat kita yang sangat tinggi. Mulai dari suku, agama hingga profesi di seluruh negeri. Demikianlah indahnya hablum minannas ini di Indonesia.
Namun begitu, hubungan sosial ini rentan digunakan untuk memobilisasi massa oleh elite politik. Sehingga bisa berakibat pada perpecahan dalam masyarakat. Misalnya, ketika Ahok dijerat kasus penistaan agama oleh FPI di tengah pilgub Jakarta 2017, pihak Anies memanfaatkan kesempatan itu untuk mengklaim keberpihakannya pada ormas yang mengatasnamakan agama Islam tersebut dan otomatis terpilih sebagai gubernur. Bukan hal yang baru, praktik politik semacam ini mengakar pada jaman kolonial Belanda: devide et impere. Buntutnya jelas, pengerasan identitas (fanatisme) yang menghasilkan konflik antar suku, antar umat beragama, dst.
Selain menimbulkan konflik, fanatisme kelompok ini bisa mempersempit kemampuan masyarakat menilai seorang calon pemimpin. Bukannya berdasar pada riwayat politik, track record kinerja, dan visi program-program kerja, malahan pada klaim pendakuan kelompok si politisi. Langgengnya fanatisme ini juga tidak akan mencegah para politisi dan calon pemimpin mengupayakan solusi dari berbagai permasalahan masyarakat, malahan sibuk berkampanye. Tidak jauh beda dengan sales hape yang mencari pelanggan di pinggir jalan. Sebagai negara demokrasi, ini bukan ekosistem yang sehat.
Hablum Minallah dan Relasi Vertikal
Dalam sejarahnya, banyak konflik antar kelompok di Indonesia awalnya dianggap karena identitas, padahal kenyataannya akar permasalahan konflik-konflik tersebut adalah kesenjangan ekonomi dan ketimpangan sosial yang hanya bisa kita sadari dengan keinsyafanyang terinspirasi dari hablum minallah: relasi vertikal.
Mari belajar dari konflik Ambon 1998. Sebelumnya, banyak yang setuju penyebab konflik ini adalah faktor tunggal: perbedaan agama. Namun Sujarwoto (2017), seorang peneliti dari UGM, menemukan akar konflik tersebut adalah keterhubungan masalah antara bentrokan antar elite kelompok yang menyebabkan segregasi dan kegagalan pemerintah dalam menjamin distribusi sumber daya yang menyebabkan ketimpangan ekonomi, seperti kemiskinan.
Mengenyampingkan dikotomi identitas, hubungan vertikal ini akan melahirkan solidaritas sosial dan mempersatukan seluruh masyarakat untuk menjaga akuntabilitas pemimpin atau wakil rakyat dalam menjalankan tanggungjawabnya dan menggunakan kekuasaannya. Lebih jauh, dengan bekal kesadaran ini, kita bisa selesai dengan perbedaan kelompok dan kebal provokasi sepihak.
Juga, kita bisa fokus menilai politisi dan pemimpin yang – bukan yang suka jualan identitas – mampu mewujudkan hak-hak dasar rakyat, sepertisistem pengaman sosial (social safety net) yang merata, yang meliputi jaminan kesehatan, pendidikan, dan perumahan terjangkau, terutama untuk kelompok rentan dan masa-masa krisis.
Lagipula, di era industrialisasi saat ini, keberpihakan elit politik yang “jahat”,tidak bertanggungjawab, selalu pada kepentingan pemilik modal atau pengusaha. Kelompok ekslusif yang terbangun di kalangan elit yang minoritas ini lah yang menyebabkan penumpukan kekayaan di puncak struktur sosial, sehingga mayoritas kelompok masyarakat yang terdorong ke bawah – kalau tidak diadu domba – terpaksa bekerja jauh lebih keras dan lebih lama dengan upah rendah hanya untuk menyambung hidup, dan di waktu bersamaan melancarkan agenda ekstraktif para elite yang jahat.
Nasihat Hajji Ambo Endeng boleh jadi mengajarkan kita bahwa, selain kebaikan ada pada bagaimana kita berurusan sesama manusia, kebaikan juga adalah tanggungan masing-masing di hadapan Tuhan. Tetapi, adalah tanggung jawab moral generasi setelah beliau, kita, untuk mengamplifikasi pelajaran berharga tersebut pada skala yang lebih besar, yakni kesadaran untuk menjaga akuntabilitas para elite politik demi menciptakan kesejahteraan dan keadilan untuk seluruh kelompok masyarakat, tanpa pengecualian. (*)