PUTRA JAYA, FAJAR–Pergolakan politik Malaysia akan segera berakhir. Pemimpin utama opisisi selama lebih dari dua dekade, Anwar Ibrahim, akan menduduki posisi itu.
“Ketua (Koalisi) Pakatan Harapan (PH) Anwar Ibrahim akan dilantik sebagai perdana menteri ke-10 Malaysia,” tulis Channel News Asia, jaringan berita utama di ASEAN, Kamis, 24 November 2022.
“Istana Negara mengumumkan pada Kamis (24 November),” sambung laporan itu.
Sebelumnya pada hari itu, Perikatan Nasional (PN) mengatakan akan mempertimbangkan pemerintahan gabungan sebagai simbol persatuan, setelah Barisan Nasional (BN) mengatakan mereka akan mengambil bagian dalam pemerintahan, tetapi tidak dipimpin oleh PN.
Pekan Ketidakpastian
Ketidakpastian politik Malaysia menjadi sejarah baru negeri jiran itu. Untuk pertama kali, masa penentuan PM harus diperpanjang tiga hari.
Jika Anwar Ibrahim (AI) naik menduduki kursi panas itu, juga mencetak sejarah. Telah lama berjuang, yakni 25 tahun, namun baru kali berhasil.
Jika Muhyiddin Yassin (MY) yang mendapat mandat, dia juga mencetak sejarah. Dia menambah daftar panjang keturunan Sulsel (Bugis-Makassar) menjadi penguasa di negeri jiran itu.
Sebenarnya, Anwar Ibrahim pun memiliki kedekatan dengan Sulsel, dan secara umum Indonesia. Pada 2018, AI secara khusus menemui tokoh Sulsel, HM Jusuf Kalla (JK) di Jakarta. Kala itu, JK Masih menjabat wakil presiden RI.
Hingga Rabu, 23 November, tak ada koalisi yang mampu mencukupkan dukungan parlemen. Baik kubu AI maupun MY.
Pakatan Harapan (PH) yang mengusung AI dan Perikatan Nasional PN yang mengusung MY masih membutuhkan tambahan kursi untuk mencapai minimal 112 kursi dukungan parlemen. Situasi ini pemilihan “terumit” yang dialami Malaysia.
Bagi Ketua Program Studi Ilmu Hubungan Internasional (HI) Universitas Fajar (Unifa), Andi Meganingratna, peluang besar lebih dimiliki MY. Alasannya, politik di Malaysia masih kental dengan sentimen identitas.
Memang, hasil pemilu memunculkan ketidakpastian politik karena tidak ada satupun partai yang menang mayoritas meraih 112 kursi dari 222 kursi di parlemen. Karena itulah terjadi saling klaim MY vs AI.
Poin krusial pemilu kali ini, rakyat menginginkan sesuatu yang baru. Hal itu terlihat dari perolehan kursi. PH mendapat 83 kursi, PN 73, dan Barisan Nasional (BN alias Barnas) 30 kursi.
“Ada 6 juta pemilih muda yang cenderung antistatus quo (UMNO, Mahathir); warga Malaysia jenuh dengan Barnas; UMNO Mahathir. Sementara warga pedesaan dan Melayu lebih memilih partai Islam sehingga memunculkan ‘tsunami hijau’. Nah, di sini dapat dilihat bahwa publik mulai beralih ke oposisi yang cenderung punya kedekatan platform nasionalis Melayu,” kata Meganingratna, Senin, 21 November.
Meski begitu, Raja Sultan Abdullah memiliki peran seremonial dan hak menentukan nama PM yang diyakini mendapatkan dukungan mayoritas. Alhasil, kemarin nama-nama calon PM sudah dikirimkan beberapa koalisi yang memenangkan pemilu.
Soal sosok yang akan menjadi PM, Meganingratna masih sulit memilih karena PN (73 kursi) dan PH (83 kursi) yang juga saling klaim mampu merangkul koalisi dari UMNO. Padahal UMNO membantah.
Yang akan menentukan ialah mereka yang mampu merangkul GPS (Gabungan Parti Sarawak), GRS (Gabungan Rakyat Sabah), dan Partai Islam se-Malaysia (PAS).
“Hard to say. Tetapi yang mampu melakukan, so far cenderung mengarah ke Perikatan Nasional (PN) pimpinan Muhyiddin Yassin. Jadi kemungkinan mengarah ke Muhyiddin Yasin sebagai PM; probabilitasnya,” ungkapnya.
Nah, ini yang benar-benar terjadi. Raja memilih AI jadi PM, ketimbang MY yang memiliki garis darah Sulsel dan Jawa itu.
Peran BN
Sebenarnya, Barisan Nasional (BN atau Barnas) dengan 30 kursi bisa memainkan peran kunci. Sayang, koalisi itu juga pecah suara. Ada yang ingin ke MY, ada pula menyeberang ke AI.
“Maka terpecah juga internal partainya. Sementara, sudah 10 anggota parlemen yang terpilih dari 30 itu, yang sudah menyatakan mendukung MY dari PN,” terang Nasrullah Mappatang, analis politik dan pemerintahan Malaysia dan Asia Tenggara.
Situasi runyam diperparah adanya aturan baru “antilintas partai” yang dikeluarkan tahun ini. Sejak diresmikan, “lompat partai” tak lagi dibolehkan. Alasannya, ketika suara berubah, kekuatan mayoritas juga berubah. Hal itu memengaruhi posisi PM.
“Sekarang ini yang terjadi, sulit menemukan mayoritas, sisa menunggu siapa yang kuat lobinya itu yang menang,” lanjutnya.
Kedua tokoh memiliki posisi yang kuat. Hanya saja, AI masih belum memiliki kesempatan menjadi PM, sehingga kalah selangkah dari MY. Di satu sisi, MY sudah memegang dukungan partai Sabah dan Sarawak meskipun itu belum cukup. Jika ditambah dengan anggota koalisi BN yang membelot dari ketuanya, itu lebih dari cukup.
“Tetapi, sebenarnya itu tidak bisa, karena harus koalisi yang mengusung bukan satuan anggota. Sementara AI juga masih menunggu presiden BN bisa memberi suara full untuk dirinya,” lanjut peneliti dan mahasiswa Program Doktoral Jurusan Sosiobudaya, Akademi Pengajian Melayu, University of Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia ini.
Koalisi AI-PH yang didominasi oleh partai Democratic Action Party (DAP) dengan dominasi Tionghoa menjadi salah satu alasan pertimbangan warga melayu. Sebab, hal ini bertentangan dengan warga melayu yang menyokong BN selama ini.
Tragedi penangkapan presiden BN karena terlibat kasus korupsi, membuat para anggotanya beralih mendukung koalisi MY-PN yang merupakan koalisi melayu dan partai Islam.
“AI didukung oleh kalangan muda yang tidak berpikir ke identitas, melainkan gagasan. Sentimen ras memang kuat yang membuat AI cukup ditolak orang Melayu,” lanjut Nasrullah.
Situasi ini merupakan trauma kelam 2018 silam bagi orang Melayu. Ada ketakutan warga Melayu yang tidak bisa memegang posisi pemangku kebijakan.
“Ada keterancaman orang melayu ketika AI menjadi PM karena diusung partai dominan orang Tionghoa, sehingga posisi strategis akan didominasi oleh orang-orang Tionghoa juga,” bebernya.
Pada akhirnya, spekulasi terjawab oleh keputusan istana. Meski tak cukup 112 kursi dukungan dari total 222 kursi parlemen Malaysia, AI yang tetap terpilih. Setidaknya kursi koalisinya yang terbanyak dibandingkan dua koalisi pengekor di belakangnya.
Jalur Sulsel
Berbeda dengan mantan PM Malaysia Najib Razak yang memiliki hubungan bilateral paling kuat dengan Sulsel, AI maupun MY dianggap memiliki hubungan yang lemah berkaitan dengan Sulsel.
Meski MY mengklaim dirinya memiliki darah garis keturunan Bugis, ini tak menjamin hubungan bilateral bisa terbangun, terkhusus dalam peningkatan perekonomian dan asek penopang lainnya.
Hal ini terlihat pada masa pemerintahan MY sebelumnya yang belum memiliki perjanjian apa pun. Begitupun AI, yang “kebetulan” mengenal tokoh besar dari Sulsel, yaitu Jusuf Kalla (JK). Meski begitu, ini tak bisa dikaitkan dengan keuntungan Sulsel secara langsung.
“Keduanya belum memiliki emosional yang kuat dengan Sulsel, berbeda dengan Najib yang pada periodenya langsung membuat hubungan kerja dengan Universitas Hasanuddin (Unhas),” paparnya.
Kala itu, kerja samanya berupa pengiriman dokter tiap tahun secara imbal balik. Dokter Malaysia belajar di Unhas, demikian juga sebaliknya.
“Tetapi, jika membahas kemungkinan, jika MY dipilih menjadi PM stabil selama 5 tahun, Sulsel berpotensi menjajaki kerja sama bidang pendidikan, kebudayaan, dan ekonomi,” tandasnya. (fni-bus/zuk-dir)